Lewat "Pendidikan Kaum Tertindas", Freire Tegaskan Murid Bukan "Celengan"

Selasa, 26 November 2019 | 09:33 WIB
Lewat "Pendidikan Kaum Tertindas", Freire Tegaskan Murid Bukan "Celengan"
Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire - (SUARA/EleonoraPEW)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Secara sadar maupun tidak, hubungan antara guru dan murid dalam dunia pendidikan tak jarang bisa jadi sebuah bentuk penindasan. Kenyataan ini dibuktikan oleh teoretikus pendidikan Brasil Paulo Freire melalui pengalamannya saat mengajarkan orang-orang dewasa di Brasil supaya melek huruf.

Dalam kasus ini, penindasan dijelaskan Freire sebagai dehumanisasi atau proses penghilangan harkat manusia yang dilakukan secara terstruktur melalui tatanan yang tidak adil. Akibatnya, orang-orang lemah yang merasakan dehumanisasi dari para penindas mendambakan kebebasan.

Sayangnya, seringkali mereka salah kaprah memperjuangkan kebebasan. Bukannya membalikkan keadaan dengan menciptakan humanisasi, mereka justru menerapkan kembali penindasan itu. Dehumanisasi pun terus berputar, dan kebebasan akan terus menjadi angan-angan karena kebebasan sejatinya harus diperjuangkan dengan kesadaran diri.

Penjelasan tentang penindasan, kaum penindas dan tertindas, serta kebebasan itu menjadi pembuka di karya Freire yang paling berpengaruh, Pendidikan Kaum Tertindas. Selain soal penindasan, Freire tentu mengungkapkan pula bagaimana bentuk penindasan dalam dunia pendidikan.

Baca Juga: Selandia Baru Tepis Anggapan Beri Dukungan untuk Kemerdekaan Papua

Freire mengibaratkan penindasan di dunia pendidikan sebagai "sistem bank". Dalam pendidikan semacam ini, hanya guru yang dianggap memiliki pengetahuan, sedangkan murid hanyalah "celengan kosong". Murid dituntut mengikuti apa yang diminta sang guru, dan kreativitas mereka pun menjadi kerdil karena penindasan terselubung ini.

Untuk mengatasainya, Freire memberikan konsep pendidikan hadap-masalah sebagai solusi pembebasan dari penindasan ini. Komunikasi menjadi aspek penting dalam konsep pendidikan ini untuk memastikan adanya pemahaman, tak sekadar pemindahan informasi.

Melalui dialog, akan bangkit kesadaran dan pemikiran kritis; tak ada lagi istilah "celengan kosong", yang dianggap sebagai "benda" dan  hanya bisa menerima jalan pikir yang "ditabungkan" guru ke dalamnya.

Freire lantas membandingkan pendidikan antidialogika dan dialogika. Yang pertama adalah alat untuk menindas, dengan karakter menaklukkan, adu domba lalu kuasai, manipulasi, dan serangan kebudayaan. Sedangkan dialogika adalah alat pembebasan yang melibatkan kerja sama, persatuan, organisasi, dan perpaduan kebudayaan.

Lihat buku PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS oleh PAULO FREIRE di SINI

Baca Juga: Yeyen Akui Dua Gol Malaysia Kesalahan Pemain Indonesia

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI