Suara.com - Militer, polisi, dan ekstremis sayap kanan yang rasis telah melakukan kudeta terhadap presiden terpilih Evo Morales. Kekinian, mereka berkuasa dengan merepresi penduduk asli dan miskin negara tersebut.
MINGGU 10 November 2019, Evo Morales, Presiden Bolivia yang baru kembali terpilih untuk masa jabatan keempat melalui pemilu, mendadak mengumumkan pengunduran diri.
Setelahnya, Evo dijemput oleh pesawat tempur Meksiko untuk diterbangkan ke negara Amerika utara tersebut, setelah mendapat suaka politik.
Setibanya di Meksiko, Evo Morales menegaskan dirinya dipaksa mengundurkan diri oleh militer. Karenanya, dia menilai militer, polisi, dan politikus sayap kanan yang menjadi oposisi merangkai plot untuk kudeta.
Baca Juga: Dihujani Protes, Presiden Bolivia Evo Morales Mengundurkan Diri
"Kami selamat berkat Meksiko dan pihak berwenangnya, tetapi saya juga ingin memberi tahu Anda saudara dan saudari, selama saya masih hidup, kami akan melanjutkan perjuangan politik," kata Morales.
Sementara di Bolivia, Wakil Presiden Alvaro Garcia serta banyak pejabat pendukung Morales juga mengundurkan diri.
Sedangkan Wakil Senat Jeanine Anez, dalam sidang legislatif, memproklamasikan diri sebagai Presiden sementara Bolivia.
Meski didukung oleh militer serta polisi, posisi Anez menjadi presiden tetap menjadi kontroversi. Sebab, dalam sidang Kongres Bolivia penunjukan dirinya, jumlah peserta tidak kuorum.
Sidang itu tidak kuorum karena diboikot oleh para legislator dari Partai Gerakan untuk Sosialisme (MAS) yang merupakan pendukung Morales.
Baca Juga: Buntut Pilpres, Wali Kota di Bolivia Dianiaya Demonstran
Kekerasan Sayap Kanan
Seusai kudeta terhadap Morales, Bolivia masuk pada fase huru-hara. Militer dan polisi Bolivia—yang didukung paramiliter sayap kanan neo Fasis—melakukan aksi kekerasan terhadap ratusan ribu warga miskin serta asli Bolivia.
Seperti dilaporkan majalah Jacobin, demonstran pro-Morales di El Alto ditembaki. Aktivis Partai Gerakan untuk Sosialisme ditangkap di rumah-rumah mereka.
Rakyat miskin dan kaum asli Bolivia menilai, kudeta terhadap Morales dan aksi kekerasan terhadap mereka di jalanan selama berdemonstrasi dimotori oleh kaum sayap kanan yang rasis.
Anez sendiri sejak lama dikenal sebagai politikus sayap kanan Bolivia. Jauh sebelum huru-hara terjadi, yakni 14 April 2013, Anez sempat mengunggah tulisan rasis pada akun Twitter pribadi.
“Aku memimpikan Bolivia yang bebas dari ritual setan warga asli,” tulis Anez yang dilanjutkan dengan, “ibu kota bukan untuk Indian—mereka lebih baik pergi ke dataran tinggi atau El Chaco.”
Jacobin, majalah ternama yang bertaut dengan kaum kiri di Amerika Serikat, dalam artikelnya menegaskan, “Manuver-manuver ini menunjukkan bahwa, apa pun yang diklaim oleh media ‘liberal’, peristiwa terkini di Bolivia sama dengan kudeta.”
“Itu adalah perebutan kekuasaan terhadap norma-norma demokrasi yang diorganisasikan oleh elite sayap kanan.”
Pemimpin-pemimpin negara di Amerika Latin yang progresif juga menilai peristiwa di Bolivia adalah kudeta.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan Menteri Luar Negeri Meksiko Marcelo Ebrard, Presiden terpilih Argentina, Alberto Fernandez, eks Presiden Brasil Lula, maupun politikus AS Ilhan Omar. Mereka menegaskan pernyataan singkat: Morales didorong mundur oleh militer, dan itu adalah kudeta.
Pemaksaan militer Bolivia agar Morales mundur dari jabatannya, diikuti oleh gelombang kekerasan dari pihak oposisi terhadap pemeritahan progresif di banyak kota.
Kelompok paramiliter sayap kanan melakukan represi terhadap kaum asli dan petani Bolivia yang berdemonstrasi menentang Anez.
Tak hanya itu, paramiliter sayap kanan dan polisi juga melakukan persekusi di sentra-sentra perumahan kaum miskin. Bahkan, rumah saudara perempuan Morales, dibakar.
Wali Kota Vinto, Patricia Arce—perempuan—ditangkap dan diseret di jalanan tanpa alas kaki oleh kelompok paramiliter neo Fasis.
Massa lantas menyiram tubuh Patricia memakai cat merah—warna kelompok sayap kanan Bolivia—dan mencukur rambutnya.
Patricia lantas diselamatkan oleh demonstran pro-Morales. Namun, balai kota Vinto dibakar oleh massa sayap kanan.
Sementara itu, patroli polisi dan militer telah mengambil alih jalan-jalan di La Paz, mendirikan barikade untuk memblokir demonstran pro-Morales yang berbaris ke kota. Pendukung Morales adalah kaum asli dan petani yang beada di desa-desa.
Sedangkan di media-media sosial, viral video polisi Bolivia melepaskan bendera Wiphala—simbol keberagaman dan warga asli—dari emblem seragam mereka.
Video polisi berdiri bersama gerombolan sayap kanan bersenjata di gedung-gedung publik juga viral di media sosial.
Penyebab Kudeta
Awal kudeta terhadap Morales itu dipicu oleh sayap kanan Bolivia yang kalah dalam pemilihan 20 Oktober 2019.
Dalam pemilu, Morales yang didukung Partai MAS menang dengan perolehan suara 47,8 persen. Sementara lawannya yang merupakan politikus sayap kanan, Carlos Mesa, kalah dengan 36,5 persen suara pendukung.
Selain itu, kemenangan Morales juga dikukuhkan oleh keberhasilan Partai MAS yang memeroleh suara mayoritas di Kongres maupun Senat Bolivia.
Namun, Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) mengklaim pemilu tersebut diwarnai kecurangan pihak petahana.
Padahal, kajian Pusat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan (CEPR) yang berbasis di Amerika Serikat menyimpulkan, tidak ada penyimpangan dalam pemilu Bolivia.
Trump dukung sayap kanan
Jacobin juga mengungkapkan, terdapat kelindan antara kudeta Bolivia dengan kepentingan Amerika Serikat.
Sejak lama, Morales dikenal sebagai sosok yang anti-kebijakan Amerika Serikat. Terlebih setelah Donald Trump menjadi Presiden AS.
“Dosa-dosaku adalah menjadi pemimpin serikat, menjadi orang asli, dan berasal dari kelompok kiri yang anti-imperialisme AS,” tegas Evo Morales melalui Twitter seusai dikudeta.
Tanggal 12 April 2019, Senat AS menyetujui resolusi yang menyatakan “keprihatinan” atas dukungan warga terhadap Morales untuk menjadi Presiden Bolivia untuk kali keempat.
Senat AS dalam resolusi itu mengutip hasil referendum tahun 2016 tentang perlunya perubahan konstitusi untuk membatasi seseorang untuk mengajukan diri sebagai presiden di Bolivia.
Padahal, Mahkamah Pemilihan Tertinggi Bolivia (TSE) pada Januari 2019 menyatakan Morales bisa kembali mencalonkan diri sebagai presiden.
TSE membolehkan Morales kembali menjadi capres dengan merujuk pada Pasal 23 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia.
Namun, pada hari yang sama dengan terbitkan resolusi Senat AS, 15 legislator oposisi Bolivia melayangkan surat kepada Donald Trump “Untuk menjadi penengah di Amerika Latin dan mencegah Evo Morales kembali mencalonkan diri sebagai presiden.”
Sementara dari sektor ekonomi, Jacobin menilai terdapat dukungan AS terhadap kudeta di Bolivia karena terdapat upaya perusahaan-perusahaan swasta untuk tetap mengeksploitasi tambang cadangan lithium.
Sebab, dalam kampanyenya, Evo Morales berniat menasionalisasi industri lithium.
“Nasionalisasi industri lithium di Bolivia akan menjadi persoalan serius ketika perusahaan-perusahaan multinasional bergiat meluaskan pasar untuk produk mobil listrik,” tulis Jacobin.
Meskipun kekuatan diatur melawan progresif di Bolivia, pertarungan belum berakhir. Saat ini, di La Paz, ribuan pendukung Evo Morales memobilisasi untuk menentang kekerasan dan rasisme kudeta. Secara internasional, oposisi terhadap kudeta juga sedang dibangun.
Bias Media
FAIR, organisasi internasional pemantau media massa, menyimpulkan terdapat bias pemberitaan tentang persoalan Bolivia pada media-media massa di Barat.
Mayoritas media-media massa Barat, tulis FAIR, menyudutkan Morales dan memberikan atribusi positif terhadap politikus sayap kanan Anez.
“Jeanine Aneez menyatakan dirinya ‘presiden sementara’ di ruang senat yang hampir kosong pada 12 November, melanjutkan untuk mengenakan selempang kepresidenan dengan bantuan tentara berseragam. Meskipun tidak kuorum yang menjadikan langkah itu tidak konstitusional, Ánez segera diakui oleh pemerintahan Trump dan Inggris,”tulis FAIR dalam rilis resminya.
FAIR menuliskan, Anez diberikan atribusi simpatik oleh mayoritas media-media massa barat. Misalnya, BBC (11/13) menyebut Anez sebagai “pengacara yang memenuhi syarat.”
France24, pada hari yang sama, menyebut Anez “orang Kristen yang taat”. Majalah Time sehari sebelumnya (12/11) menyebut Anez sebagai “aktivis hak-hak perempuan dan presenter televisi.
FAIR mengatakan, atribusi positif terhadpa Anez itu senada saat pemimpin kudeta Venezuela—yang gagal—yakni Juan Guaido sebagai “pejuang kemerdekaan (Fox Business, 29/1/19) maupun “sosok perebut hati bangsa" (New York Times, 3/4/19).
“Selain itu, jurnalis-jurnalis korporat juga berusaha membersihkan citra diri sosok yang secara luas dianggap sebagai kekuatan nyata di balik kudeta: multimiliuner Kristen fundamentalis Luis Fernando Camacho,” tulis FAIR.
Camacho sejak lama dikenal sebagai fasis, yakni sejak memulai karier politiknya di Santa Cruz Youth Union—organisasi paramiliter ultra-kanan.
Namun, menjelang dan setelah kudeta Morales, BBC (13/11) menyebut Camacho sebagai “Pemimpin protes". Reuters (11/7/2019) menyebut Camacho sebagai seorang "Pemimpin sipil".
FAIR juga mengungkapkan banyak peristiwa yang absen dari liputan utama jurnalis media-media barat.
FAIR menuliskan, foto maupun video di media sosial banyak merekam para pemimpin MAS diserang massa, diikat ke pohon, rumah mereka dibakar dan beberapa dipaksa untuk mengundurkan diri dengan kekerasa.
“Sebaliknya, jurnalis korporat dengan polos menggambarkan mobilisasi sayap kanan yang semakin keras sebagai ‘protes massa’ (BBC, 10/31/19), ‘perbedaan pendapat’ (AP, 11/8/19) dan ‘pembangkangan sipil’ (New York Times, 10/31/19).”
Glenn Greenwald, Co-Founder The Intercept—medi alternatif yang dulu memublikasikan banyak dokumen bocoran dari Edward Snowden—juga mengkritik media-media massa yang berbasis di AS karena tak menyebut peristiwa di Bolivia sebagai kudeta.
"Saya pikir itu luar biasa, bahwa media AS secara eksplisit menolak menyebutnya kudeta,” kata Greenwald, Jumat (15/11/2019).
“Itu hanya menunjukkan bagaimana dalam wacana AS, 'demokrasi' berarti menempatkan seorang pemimpin di tempat yang melayani kepentingan AS. Sementara 'tirani' atau 'kediktatoran' berarti seorang pemimpin—bahkan jika mereka dipilih secara demokratis--yang menolak melayani kepentingan AS."
Arus balik Sosialisme Amerika Latin
Keberadaan Evo Morales dalam pengasingan di Meksiko, menandai berakhirnya era kemajuan politik dan ekonomi di Bolivia.
Dalam laporan Elise Swain, jurnalis The Intercept, disebutkan Morales adalah orang pertama pribumi di Amerika pada era modern yang mampu menjadi presiden.
Morales menjadi presiden seiring dengan gelombang pasang kaum populis kiri di Amerika Latin pada tahun 2006.
Ketika itu, Movimiento al Socialisme Mobiliva—Partai MAS—berhasil memenangkan pemilu ketika arus politik Amerika Latin bergerak ke arah Kiri setelah berakhirnya era Perang Dingin.
Sebagai bagian dari "gelombang merah muda," 14 tahun kekuasaan Morales secara statistik memberikan keuntungan ekonomi bagi banyak orang Bolivia.
Pada 2017, kelas menengah Bolivia telah tumbuh secara dramatis, dan negara dengan sekitar 11 juta orang memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi di kawasan itu.
Sejak Morales menjadi presiden tahun 2006, harga komoditas yang tinggi sukses meningkatkan penghasilan ekspor Bolivia hingga 9 kali lipat. Alhasil, cadangan kekayaan Bolivia di luar negeri naik sampai USD 15,5 miliar.
Pertumbuhan perekonomian Bolivia juga selalu naik 5 persen setiap tahun. Karenanya, seperti data yang dilansir Bank Dunia, Morales juga sukses melepaskan setengah juta warga Bolivia dari jerat kemiskinan karena pendapatan bruto nasional per kapita naik dari USD 1.000 ke USD 2.550 pada tahun 2013.
Sementara berdasarkan laporan PBB, Bolivia setelah Morales berkuasa menjadi negara di Amerikat Latin dengan angka pengurangan kemiskinan terbesar, yakni 32,2 persen yang tercatatkan padap periode 2000 – 2012.
Tahun 2009, Morales berhasil mengubah konstitusi Bolivia sehingga seluruh sumber daya alam secara resmi diakui milik rakyat. Konstitusi itu pula yang membatasi pihak swasta hanya boleh memiliki lahan maksimal 5.000 hektare.
Tak hanya itu, posisi Morales sebagai presiden juga semakin kukuh karena berhasil menasionalisasi beragam industri sumer daya gas serta mineral, membangun infrastruktur, serta subsidi pendidikan dan jaminan sosial.
“Namun, kemajuan ekonomi tersebut bukan tanpa biaya (negatif). Tingkat deforestasi di Bolivia melonjak,” tulis Elise Swain di The Intercept.
Secara politis, Morales juga dikukuhkan sebagai salah satu musuh AS di Amerika Latin. Ia gemar mengkritik imperialisme dan kapitalisme AS.
“Aku akan menjadi mimpi buruk bagi imperalis AS,” tegas Morales dalam pidato setelah kali pertama menjadi presiden, 2006.
Dua tahun kemudian, 2008, Morales mengusir Badan Pemberatasan Narkoba AS dari Bolivia. Ia juga mengusir Badan Pengembangan Internasional AS karena turut campur urusan dalam negeri.
Antropolog Bolivia Bret Gustafson mengatakan kepada The Intercept, Morales dihabisi secara politik oleh kaum oposan sayap kanan.
Sebab, dalam pemilu, Morales sukses meraup 47,07 persen suara pendukung. Sementara lawannya, Carlos Mesa, hanya memenangkan 36,51 persen suara.
Dalam UU Pemilu Bolivia, Morales berhak menjadi presiden tanpa digelar putaran kedua pemilu karena berhasil unggul leih dari 10 poin dari lawan.
“Tentu, kemenangan Morales langsung oada putaran pertama pemilihan tidak terduga,” kata Gustafson.
Karenanya, Gustafson mempertanyakan rekomendasi OAS yang menilai pemilu Bolivia harus digelar sampai dua putaran.
"OAS tentu dipertanyakan, sebagian besar karena peran yang dimainkan oleh Amerika Serikat dan Brasil serta Argentina, yang dipimpin sayap kanan. Dulu, Luis Amagro (Kepala OAS) berusaha menfasilitasi pemecatan Nicolas Maduro (Presiden Venezuela),” kata dia.