Suara.com - Kudus, pria paruh baya berusia 55 tahun itu rela bertahan puluhan tahun hidup tanpa listrik di rumahnya yang berada di pemukiman padat penduduk di Jalan Kalianyar X RT 002/RW 006, Kalianyar, Taman Sari, Jakarta Barat. Keadaan ekonomi yang memaksa Kudus harus bertahan tanpa listrik.
Kepada Suara.com, Kudus bercerita bahwa rumah itu sudah ia tinggali sejak lahir sekitar tahun 1964. Saat itu, keluarga Kudus tinggal berlima dengan kedua orang tua, kakak dan adiknya.
"Dulu yang tinggal di mari masih ada orang tua dua-duanya, berlima, tiga anak, ada satu wanita udah lama pisah karena sudah punya suami, ikut suami, saya anak nomor dua," kata Kudus kepada Suara.com, Kamis (7/11/2019).
Sementara, hidup tanpa listrik, disebut Kudus sudah terjadi sejak tahun 2011-an. Karena kondisi ekonomi yang membuat ia tidak bisa lagi membayar listrik.
Baca Juga: Kisah Kudus, Warga Jakarta Hidup Tanpa Listrik
"Ya sudah lama ini sekitar 10 tahun lalu rumah saya tidak dialiri listrik karena memang tidak mempunyai uang dan sudah diputus," ungkap Kudus.
Kudus menceritakan awal mula listrik diputus, hal itu terjadi saat dirinya memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai cleaning service di kawasan Thamrin sekitar tahun 2000-2001.
Setelah itu, dia tidak bekerja tetap dan memilih kerja serabutan seperti mengamen, pengepul plastik hingga mencoba kuli bangunan.
"Pak saya itu tamatan kelas 5 SD, ya alhamdulilah saya bisa baca dan tulis. Sempat kerja jadi OB, nah mungkin karena kantornya butuh pegawai yang punya ijazah ya udah saya keluar. Saya pernah lah kerja dan tahu kerja sama orang pak," ucapnya.
Kondisi Rumah Kudus
Baca Juga: Mati Lampu, Ibu Ini Punya Jurus Jitu Menyetrika Tanpa Listrik
Rumah Kudus memang tampak memprihatinkan, bahkan tempat itu lebih layak disebut kamar ketimbang rumah karena luasnya tak lebih dari 5x3 meter dan berada di pojok gang sempit pemukiman padat.
Di dalamnya, hanya terdapat satu buah lemari plastik 3 pintu untuk menyimpan pakaian, satu buah bantal tanpa sarung dan satu buah kasur busa yang kondisinya sudah sobek-sobek tanpa sprei.
Plafon rumah Kudus pun terlihat bolong di sisi tengah. Dari situlah cahaya bisa masuk ke dalam rumah Kudus. Beberapa hari lalu ketika cerita soal Kudus menjadi viral, petugas RW langsung memasang satu lampu dari listrik tetangganya.
"Ini baru dipasang kemarin, sekitar hari minggu siang, sekitar jam setengah satu atau jam satu-an," katanya.
Kondisi itu semakin parah ketika hujan deras, air merembes di dinding kuning rumah Kudus yang mengakibatkan terdapat jamur di beberapa titik.
Kudus mengakui keadaan ekonomi membuatnya terpaksa bertahan di hidup di kondisi rumah yang memprihatikan itu.
Bahkan untuk urusan kebersihan diri saja dia sudah tidak terlalu peduli, bau pesing di rumahnya diakuinya sebagai akibat tingkah buruknya sendiri.
"Bau pesing kalau saya sering lupa buang air kecil di depan situ lupa disiram, saya suka minta air ke tetangga buat siram," ucapnya.
Sementara untuk mandi, Kudus mengandalkan wc umum milik RW yang terdapat di samping rel kereta.
"Kalau ke WC ya, WC umum bayar Rp 2 ribu itu sekalian semuanya, kadang juga nggak bayar, orang juga sudah paham pak," ungkap Kudus.
Enggan Meminta-minta
Meski hidup serba kesusahan, Kudus mengaku tidak mau meminta-minta dan berusaha menolak bantuan tetangga karena malu.
"Tetangga kadang juga ngasih, cuma saya seringnya menolak, karena malu, jangan bu jangan kasih setiap hari, kita juga orang susah juga," kata Kudus.
Dia juga enggan menerima bantuan listrik dari tetangga dan pengurus RW yang berniat membantu.
"Pernah saya ditawarin tetangga saya enggak mau, saya suka gelap-gelapan saya bilang," ujar Kudus.
Untuk makan dan bertahan hidup, Kudus mengumpulkan botol di depan rumahnya yang dibungkus dalam satu karung plastik putih.
"Biasa dapat Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu dari kumpulin botol ini dikasih ke pengepul. Atau pemulung datang kasih uang ke saya, ya cukup buat makan," imbuh Kudus mengakhiri cerita.