Suara.com - Mahkamah Agung mencoret kebijakan Presiden Jokowi yang mengharuskan dokter-dokter spesialis berpraktik ke pelosok negeri.
Sebab, MA menilai kebijakan tersebut adalah bagian dari kerja paksa yang dilarang oleh undang-undang.
Seperti diberitakan DW Indonesia, Senin (4/11/2019), MA mencoret kebijakan Presiden Jokowi tersebut.
Dengan demikian, Jokowi harus menerbitkan peraturan presiden baru, yang berisi tak mewajibkan dokter spesialis berdinas hingga pelosok Papua, melainkan tergantung kesukarelaan sang dokter.
Baca Juga: Wajib Kerja Dokter Spesialis Dibatalkan, Ini Rencana Penggantinya
Keputusan MA menganulis Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis itu beriringan dengan diketoknya putusan Judicial Review Nomor 62 P/HUM/2018.
Dalam putusannya, MA menilai wajib kerja adalah kerja paksa yang dilarang oleh UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
Sebagai respons putusan MA tersebut, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Perpres Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis.
"Pemenuhan pelayanan kesehatan spesialistik dilakukan melalui pemerataan dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia dalam bentuk pendayagunaan dokter spesialis rumah sakit," demikian bunyi pertimbangan Perpres 31/2019 tersebut.
Untuk diketahui, dalam perpres sebelumnya, para dokter spesialis diwajibkan mau ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Tapi kekinian, kewajiban itu kekinian menjadi status sukarela.
Baca Juga: Peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis Dijanjikan Beasiswa
Hal tersebut termaktub dalam Pasal 16 ayat 2 Perpres 31/2019:
Peserta penempatan dokter spesialis ditempatkan RS milik Pemerintah Pusat atau Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dan b dapat berupa:
(1) RS daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan.
(2) RS rujukan regional; atau
(3) RS rujukan provinsi yang ada di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara ayat 2:
Yang diutamakan adalah spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis anak, spesialis bedan, spesialis penyakit dalam, spesialis anastesi dan terapi intensif.
Sedangkan ayat 3:
"Dalam menempatkan jenis spesialisasi lainnya, menteri mempertimbangkan kebutuhan pelayanan kesehatan spesialistik di masyarakat.”
Kronologi
Putusan MA itu bermula ketika Jokowi membuat Perpres Nomor 4/2017 yang mewajibkan dokter spesialis bekerja selama 1 tahun serta WKDS pada akhir masa studi.
Peraturan ini lantas digugat Dookter Ganis Irawan dan dikabulkan MA.
"Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis bertentangan dengan UU Noor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa," demikian pertimbangan MA seperti pada laman daringnya.
Bagi MA, pelaksanaan program WKDS semestinya dilaksanakan secara sukarela serta tanpa paksaan dan ancaman hukum atau sanksi.
Menurut MA, program itu dilakukan memakai sistem penghargaan, kesempatan pengembangan karier, dan dukungan kebijakan yang layak.
"Sehingga maksud pemerintah dalam menjalankan program WKDS dalam rangka pemerataan dokter spesialis guna peningkatan akses dan pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan spesifik bisa terpenuhi dan dilakukan secara sukarela. Dengan begitu, tidak mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak seseorang dokter untuk dapat secara bebas memilih pekerjaan yang dikehendakinya," kata majelis kasasi yang diketuai Supandi dengan anggota Irfan Fachruddin dan Is Sudaryono.
Dalam pertimbangannya juga MA menilai pemerintah seharusnya mendorong pemberdayaan putra-putri daerah masing-masing untuk menjadi dokter-dokter spesialis.