Suara.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly enggan mau menggubris secara dalam pernyataaan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBH) yang menyebut gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo seperti Orde Baru lantaran tidak memberikan sinyal untuk mengeluarkan Perppu KPK.
Alasan Yasonna tak mau menanggapi karena jabatannya tak memiliki wewenang untuk menjawab pernyataan tersebut.
"Saya enggak punya kewenangan dalam soal itu," ujar Yasonna di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Yasonna pun enggan menjawab pertanyaan awak media saat ditanya soal banyak yang mengkritik Jokowi karena tidak menerbitkan Perppu KPK. Alih-alih menjawab, Yasonna justru meminta awak media menanyakan hal itu kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Mahfud MD.
Baca Juga: Tjahjo Kumolo Pimpin Kemenkumham 23 Hari, Yasonna Ucapkan Terima Kasih
"Ya itu ditanyakan saja ke Pak Menko lah. Biar ditindaklanjuti," ucap dia.
Sebelumnya, Ketua YLBHI Asfinawati menilai gelagat Jokowi yang kekinian belum mengeluarkan Perppu KPK menandakan arah demokrasi Indonesia kembali menurun.
"Jadi menurut kami, tidak keluarnya Perppu adalah sebuah lonceng kita masuk ke neo orde baru," kata Asfinawati di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Minggu (3/11/2019).
Asfinawati menjelaskan, sinyal tersebut sudah terlihat sejak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) nomor R-42/Pres/09/2019 kepada DPR terkait revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Dalam surat itu, Jokowi menugaskan Menteri Hukum dan Asasi Manusia dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membahas Revisi UU KPK bersama DPR.
Baca Juga: Yasonna Jadi Menkumham Lagi, Belum Ada Instruksi Jokowi Bahas UU KPK Baru
"Secara kasat mata kita melihat presiden menandatanganinya dan tidak mungkin hal tersebut bisa terjadi, dan menteri tidak akan berani kalau tidak ada persetujuan presiden," katanya.
Selain itu, dia juga menyoroti pasal-pasal peralihan di undang-undang 19/2019 yang multitafsir seperti pasal 70, 69, dan 70 D yang menyebut sebelum Dewan Pengawas dibentuk maka fungsi dari KPK akan tetap dijalankan seperti UU KPK sebelumnya. Namun di pasal lain menyebut UU 19/2019 telah berlaku.
"Saya sebagai orang dari lembaga bantuan hukum dan orang hukum kalau ditanya tidak bisa menjawab. Jadi sebenarnya yang mana yang mau kita pakai? Karena ada multitafsir dari memang dari pembuatan pasal-pasal tersebut," ujar Asfinawati.
"Hakim bisa menggunakan pasal mana saja untuk menafsirkan pasal yang saling bertolak belakang. Dari dua pasal ini saja sudah jelas pemberantasan korupsi berada di dalam bahaya," katanya menambahkan.