Suara.com - Jilbab atau hijab identik sebagai penutup aurat bagi wanita muslim (muslimah). Namun seiring berjalannya waktu, muncul beragam tafsiran mengenai aturan kewajiban memakai hijab.
Terlebih dengan adanya anggapan hijab merupakan budaya karena kekinian digandrungi dan menjadi bagian trend fashion wanita.
Aktivis wanita sekaligus penulis, Nong Darol Mahmada melalui laman dw.com membagikan ulasan mengenai asal usul hijab.
Ia mengatakan, semula kerudung atau jilbab dianggap sebagai penutup kepala. Namun mengalami pergeseran makna menjadi penutup aurat wanita dewasa sejak abad 4 Hijriyah.
Baca Juga: Menteri Erick Tetapkan Pembagian Tugas Dua Wamen BUMN
Sementara pada zaman Nabi Muhammad, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi anggota badan dari kepala hingga kaki wanita dewasa.
Meski syarat bernuansa islami, Nong menuturkan konsep hijab sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh agama islam dan bahkan muncul sebelum kehadiran agama-agama Samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam).
"Dalam kitab agama lain, muncul istilah serupa hijab seperti if'eret dalam Kitab Taurat dan zammah serta zaif ditemukan dalam Kitab Injil," ungkap Nong seperti dikutip dari DW Indonesia.
Di lain pihak, dalam agama Islam, ketentuan mengenai berhijab didasarkan pada dua ayat Al-Quran yakni Al-Ahzab:59 dan An-Nur:31.
Nong lantas membedah makna yang terkandung dalam kedua ayat tersebut. Menurutnya, sebab diturunkannya aturan itu dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor.
Baca Juga: Larangan Cadar dan Celana Cingkrang, Sosiolog UI: Kebijakan yang Konyol
Dari faktor kondisional, Al-Ahzab dan An-Nur diturunkan sebagai reaksi atas tradisi cara berpakaian perempuan Arab Jahiliyah enggan melebarkan kerudung sampai dada.
Selain karena dua ayat itu turun usai peristiwa besar seperti Perang Khandaq dan konflik di Arab.
Selanjutnya, bersifat politis karena Al-Ahzab dan An-Nur dianggap sebagai peredam serangan fitnah kaum munafik kepada istri-istri Nabi Muhammad.
Sementara, faktor elitis dan diskriminatif didasarkan atas ambiguitas Islam dalam memandang sistem perbudakan di Arab.
Seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Ahzab:59, wanita diperintahkan untuk menjulurkan jilbab ke dada supaya bisa membedakan budak dan perempuan merdeka.
Dari situlah, Islam dinilai samar, antara ingin menghancurkan atau mempertahankan pembedaan strata. Namun, jauh lebih penting untuk menilik alasan etika.
"Untuk menghindari ambiguitas, baiknya lebih menekankan pernafisiran moral ayat itu. Bukan soal pembedaan strata namun kepada perintah untuk sopan dan bersahaja," imbuh Nong.
Lebih lanjut, bagi Nong dua ayat di atas hanya membicarakam norma kesopanan bagi perempuan dan istri-istri Nabi Muhammad. Tidak ada perintah secara tersurat mengenai kewajiban berhijab bagi wanita.
Tak pelak, muncul beragam spekulasi mengenai pengaplikasian konsep berhijab. Ada yang menyetujui hal itu sebagai kewajiban, namun adapula yang menganggapnya bukan suatu kewajiban.
Dari hukum yang tidak mewajibkan tersebut kemudian muncul pandangan bahwa hijab adalah budaya.
"Ketika wanita diwajibkan memakai hijab, akan memberikan pengaruh besar kepada sekelilingnya," kata Nong
Ia menyoroti batasan aurat bagi perempuan dengan mengacu pada ungkapan Muhamad Sa'id Al-Asymawi yang berbunyi: "Bila rambut sebagai mahkota perempuan adalah aurat, wajah sebagai singgasana juga aurat begitu pula dengan suara dan tubuh sebagai tempat kekuasaan dan kerajaannya. Akhirnya perempuan serba aurat".
Terlepas dari semuanya, Nong mengapresiasi dan menghormati wanita yang memakai hijab atas kemauannya sendiri tanpa unsur paksaan atau tekanan. Sebab hal itu merupakan bentuk aktualisasi diri.