Suara.com - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memberlakukan forestalling atau obral pita cukai rokok pada akhir tahun ini. Kebijakan tersebut memicu aksi borong pita cukai oleh industri rokok untuk meningkatkan penerimaan pajak. Efek Forestalling pun tak lepas dari keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23 persen yang berlaku 2020.
Pun efek Forestalling menimbulkan lonjakan produksi rokok, sehingga program pemerintah untuk mengendalikan tingkat konsumsi menjadi tidak optimal. Sementara, berdasar data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukan, prevalensi merokok pada remaja usia sekolah atau usia 10-18 tahun mengalami kenaikan. Dari data Riskesdas pada 2013 tercatat 7,2 persen, namun kondisi tersebut meningkat menjadi 9,1 persen.
***
Peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI) Vid Adrison berpandangan, aksi borong pita cukai oleh perusahaan rokok pada akhir tahun merupakan efek kenaikan tarif cukai yang tidak melanggar hukum. Vid mengemukakan negara juga tidak dirugikan dengan forestalling. Justru, hal tersebut menambah pemasukan pajak di penghujung tahun.
Baca Juga: Merokok Haram, PP Muhammadiyah Dukung Pemerintah Naikkan Cukai Rokok
Tak hanya itu, dia juga mengemukakan forestalling akan menguntungkan industri rokok. Pendapat tersebut mengacu pada kemungkinan terjadinya peningkatkan jumlah produksi dengan melekatkan pita cukai dengan harga lama.
Namun, jumlah produksi yang besar akan berdampak pada maraknya peredaran rokok di pasar. Imbasnya, program Presiden Joko Widodo untuk menurunkan tingkat perokok pemula yang naik dari tahun ke tahun akan terhambat. Tak hanya itu, efek buruknya pada kesehatan masyarakat juga dirasakan karena harga rokok yang rendah menyebabkan tingkat konsumsi makin tak terkendali.
“Karena cukainya itu lebih murah, maka dia bisa menjual dengan harga lebih rendah. Sehingga penurunan konsumsi tidak begitu besar,” kata Vid Adrison kepada Suara.com, beberapa waktu lalu.
Vid melanjutkan, rokok yang dilekatkan pita cukai lama di akhir tahun bisa dijual pada tahun depan. Sehingga perusahaan rokok memilih untuk menggenjot produksi rokok hingga akhir Januari 2020, lantaran tarif baru cukai rokok akan berlaku mulai 1 Februari 2020.
“Kalau sudah masuk Februari 2020, cukai lama sudah tidak boleh dilekatkan ke rokok,” ujar dia.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengungkapkan, besar kecilnya aksi borong pita cukai ditentukan kemampuan atau likuiditas perusahaan rokok.
Baca Juga: Cukai Rokok Naik, Kemenkes Harap Jumlah Perokok Anak dan Remaja Berkurang
Hal tersebut berdasar pada aturan PMK Nomor 57/2017 yang memaksa pelaku usaha harus melunasi cukai di akhir tahun. Selain itu, juga ada beberapa ketentuan yang memengaruhi pembelian pita cukai. Seperti penyediaan dan pemesanan pita cukai (P3C), P3C normal, P3C tambahan dan P3C izin Kepala Kantor Bea Cukai. Dengan begitu, industri rokok tidak bisa sembarangan melakukan aksi borong pita cukai. Untuk itu, Direktorat Bea dan Cukai juga akan melihat kapasitas produksi perusahaan agar tidak bisa sembarangan memborong pita cukai.
“Kalau stok kapasitasnya sudah mentok, otomatis tidak bisa semaunya borong pita cukai,” ujar Nirwala saat ditemui di kantornya, beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, forestalling sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar. Namun, lanjut Nirwala, sampai saat ini belum tampak lonjakan signifikan borong pita cukai oleh perusahaan rokok. Meski kekinian produksi rokok naik 3 persen, peningkatan itu didorong kenaikan target penerimaan CHT yang mencapai Rp 10 triliun.
Pita cukai lama pun dibatasi pelekatan hingga 31 Januari 2020, lewat dari tanggal tersebut dilarang. Nirwala mengungkapkan, penerimaan pajak dari forestalling setiap tahun mencapai 30-40 persen dari rata-rata penerimaan bulanan. Terakhir forestalling terjadi pada 2017, karena pada 2018 tidak ada forestalling lantaran pada tahun berikutnya, yakni 2019, tidak ada kenaikan tarif cukai.
Untuk tahun ini, pemesanan pita cukai rokok paling tinggi terjadi pada Januari. Menurut Nirwala, ada beberapa alasan yang jadi pemicu. Pertama, karena pada 2019 tidak ada kenaikan tarif cukai rokok. Kedua, pelaksaan Pemilu di April 2019, menyebakan industri menggenjot produksi. Namun pada bulan April dan Mei, tren pemesanan pita cukai rokok turun lagi.
Peningkatan volume produksi akibat efek forestalling di era Pemerintahan Jokowi terjadi di dua tahun awal, yakni 2014 sebanyak 32,68 persen dan 2015 meningkat menjadi 48,72 persen. Kemudian pada 2016 turun menjadi 43,27 persen, 2017 kembali turun di angka 32,53 persen dan pada 2018 kembali turun menjadi 17,84 persen.
“Rata-rata forestalling selama lima tahun terakhir 35,01 persen,” jelasnya.
Bekas Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai ini juga menjelaskan, prinsip cukai rokok adalah untuk pengendalian konsumsi. Sedangkan penerimaan negara dari cukai bukan prioritas, sebab prinsipnya bukan untuk mencari pemasukan uang.
Jika hanya untuk mencari pemasukan, dia mengatakan lebih baik fokus memikirkan rokok golongan I karena kontribusi penerimaan cukainya lebih besar yang mencapai 90 persen. Namun, pihaknya lebih memikirkan bagaimana melindungi pabrik-pabrik rokok kelas kecil dan menengah. Mayoritas pabrik rokok kecil dan menengah memproduksi rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) yang memiliki banyak tenaga kerja sebagai pelinting.
“Tapi kan kami harus melindungi pabrik-pabrik rokok kecil, menengah. Makanya kami bicara simplifikasi, pengurangan layer, penggabungan SKM (sigaret kretek mesin) dengan SPM (sigaret putih mesin) dan segala macam itu belum dibahas,” terangnya.
Sementara itu, jumlah produksi rokok jenis SKM kontribusinya terbesar, yaitu mencapai 75 persen dari total produksi. Sedangkan, rokok jenis SPM jumlah produksi hanya lima persen, dan SKT 20 persen.
“Kami prediksi sampai akhir tahun total produksi rokok SKM 345 miliar batang,” kata dia.
Lobi-lobi Pengusaha Halangi Tarif Cukai Rokok Naik
Keputusan pemerintah menaikan tarif cukai rokok 23 persen pada tahun depan tak mendapat sambutan baik dari pelaku usaha. Beberapa pengusaha industri rokok, bahkan melobi pemerintah agar tidak menaikkan tarif cukai rokok yang dianggap terlalu tinggi. Salah satu di antaranya, pengusaha yang berasosiasi dalam Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya.
Nirwala mengungkapkan, saat audiensi antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan pengusaha rokok, disampaikan keberatan soal kenaikan tarif cukai rokok yang mencapai 23 persen.
Kenaikan tersebut dirasa cukup signifikan, lantaran kenaikan tarif cukai rokok selama ini hanya sekitar 10 persen per tahun. Selain kenaikan tarif cukai, mereka juga keberatan dengan kenaikan harga jual eceran (HJE) yang mencapai sekitar 32 persen.
“Ya kaget mereka. Mereka bilang, kalau enggak boleh nawar (kenaikan tarif cukai rokok), bikin dua tahap, itu permintaan mereka. Meski tetap naik 23 persen tolong dibagi dua lah, semester satu dan semester dua,” ungkap dia.
Persoalan tenaga kerja, menurut Nirwala, menjadi alasan oleh para pengusaha rokok itu melobi supaya pemerintah membuat kenaikan tarif cukai rokok dibikin bertahap. Bahkan, Nirwala menduga, pengusaha industri rokok berharap supaya tarif cukai rokok tidak naik tinggi sampai melakukan lobi-lobi ke level Presiden.
“Iya lah, mungkin dari paling atas sendiri,” tutur dia.
Menurut dia, dalam menaikan tarif cukai rokok, ada benturan antar kementerian dan lembaga terkait yang memiliki kepentingan sektoralnya masing-masing. Seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian dan lainnya.
Meski begitu, dia menganggap industri rokok masih sangat strategis, karena kontribusi pajaknya sampai 10 persen dari APBN. Tak heran, jika kemudian pengusaha rokok melakukan intervensi agar tarif cukai rokok tidak naik drastis.
“Ini sudah tahun ketiga untuk memutuskan saja harus sampai ke Presiden, harusnya kan cukup selesai di Kemenko Perekonomian. Sampai ke Presiden berarti ini sangat besar tekanannya,” imbuh dia.
Namun, dia tidak menyebutkan secara terang siapa pengusaha dari industri rokok yang melakukan lobi-lobi sampai ke Presiden tersebut. Suara.com sudah berupaya menghubungi Ketua Gapero Surabaya, Sulami Bahar melalui sambungan telepon, sampai berita ini diturunkan yang bersangkutan belum ada respon.
***
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, forestalling akan menghasilkan lonjakan penerimaan cukai hasil tembakau atau CHT di akhir tahun. Sebab industri rokok akan memborong pita cukai rokok dalam jumlah yang besar.
Penerimaan CHT hingga Agustus 2019 tercatat sebesar Rp 93,12 triliun atau tumbuh sekitar 3 persen dibanding tahun 2018. Hal ini tertinggi sejak tiga tahun terakhir.
“Iya, penerimaan cukai 2019 akan naik,” ujar dia.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi menjelaskan, pertimbangan kenaikan tarif cukai rokok menjadi 23 persen disebabkan tiga hal utama. Pertama untuk pengendalian konsumsi rokok, baik itu yang ilegal maupun yang legal. Kedua terkait kepentingan industri, petani tembakau dan pekerja di industri rokok. Terakhir, pertimbangan penerimaan negara dari cukai rokok.
“Jadi tiga pertimbangan itu digabungkan dengan fakta bahwa tahun 2019 kami tidak menaikkan tarif, sehingga hitung-hitungannya tentu dua kali lipat, karena tahun lalu kan nggak naik. Sehingga lompatan dari 2018 ke 2020 masuk kan,” jelasnya.