Forestalling, Tambah Penerimaan Pajak Versus Dampak Buruk Kesehatan

Rabu, 30 Oktober 2019 | 15:44 WIB
Forestalling, Tambah Penerimaan Pajak Versus Dampak Buruk Kesehatan
Petani tembakau di Selo Boyolali menjaga kualitas tanaman dengan menjemur hasil panen di Klaten, Jawa Tengah. [Suara.com/Ari Purnomo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

“Kalau stok kapasitasnya sudah mentok, otomatis tidak bisa semaunya borong pita cukai,” ujar Nirwala saat ditemui di kantornya, beberapa waktu lalu.

Tak hanya itu, forestalling sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar. Namun, lanjut Nirwala, sampai saat ini belum tampak lonjakan signifikan borong pita cukai oleh perusahaan rokok. Meski kekinian produksi rokok naik 3 persen, peningkatan itu didorong kenaikan target penerimaan CHT yang mencapai Rp 10 triliun.

Rokok ilegal hasil sitaan di Kantor Bea Cukai Sulsel di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (10/4).
Rokok ilegal hasil sitaan di Kantor Bea Cukai Sulsel di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (10/4).

Pita cukai lama pun dibatasi pelekatan hingga 31 Januari 2020, lewat dari tanggal tersebut dilarang. Nirwala mengungkapkan, penerimaan pajak dari forestalling setiap tahun mencapai 30-40 persen dari rata-rata penerimaan bulanan. Terakhir forestalling terjadi pada 2017, karena pada 2018 tidak ada forestalling lantaran pada tahun berikutnya, yakni 2019, tidak ada kenaikan tarif cukai.

Untuk tahun ini, pemesanan pita cukai rokok paling tinggi terjadi pada Januari. Menurut Nirwala, ada beberapa alasan yang jadi pemicu. Pertama, karena pada 2019 tidak ada kenaikan tarif cukai rokok. Kedua, pelaksaan Pemilu di April 2019, menyebakan industri menggenjot produksi. Namun pada bulan April dan Mei, tren pemesanan pita cukai rokok turun lagi.

Baca Juga: Merokok Haram, PP Muhammadiyah Dukung Pemerintah Naikkan Cukai Rokok

Peningkatan volume produksi akibat efek forestalling di era Pemerintahan Jokowi terjadi di dua tahun awal, yakni 2014 sebanyak 32,68 persen dan 2015 meningkat menjadi 48,72 persen. Kemudian pada 2016 turun menjadi 43,27 persen, 2017 kembali turun di angka 32,53 persen dan pada 2018 kembali turun menjadi 17,84 persen.

“Rata-rata forestalling selama lima tahun terakhir 35,01 persen,” jelasnya.

Bekas Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai ini juga menjelaskan, prinsip cukai rokok adalah untuk pengendalian konsumsi. Sedangkan penerimaan negara dari cukai bukan prioritas, sebab prinsipnya bukan untuk mencari pemasukan uang.

Jika hanya untuk mencari pemasukan, dia mengatakan lebih baik fokus memikirkan rokok golongan I karena kontribusi penerimaan cukainya lebih besar yang mencapai 90 persen. Namun, pihaknya lebih memikirkan bagaimana melindungi pabrik-pabrik rokok kelas kecil dan menengah. Mayoritas pabrik rokok kecil dan menengah memproduksi rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) yang memiliki banyak tenaga kerja sebagai pelinting.

“Tapi kan kami harus melindungi pabrik-pabrik rokok kecil, menengah. Makanya kami bicara simplifikasi, pengurangan layer, penggabungan SKM (sigaret kretek mesin) dengan SPM (sigaret putih mesin) dan segala macam itu belum dibahas,” terangnya.

Baca Juga: Cukai Rokok Naik, Kemenkes Harap Jumlah Perokok Anak dan Remaja Berkurang

Sementara itu, jumlah produksi rokok jenis SKM kontribusinya terbesar, yaitu mencapai 75 persen dari total produksi. Sedangkan, rokok jenis SPM jumlah produksi hanya lima persen, dan SKT 20 persen.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI