Suara.com - Beberapa tahun belakangan, warga DKI Jakarta sudah bisa menikmati berbagai moda transportasi. Angkutan umum (angkot) hingga sarana terkini, Light Rail Transit (LRT), kini menjadi andalan warga.
Ini merupakan bagian dari perwujudan Jak Lingko, yang merupakan sistem transportasi terintegrasi, baik dalam hal rute, prasarana, maupun pembayarannya. Integrasi ini tidak hanya melibatkan antar bus besar, medium, bus kecil dan TransJakarta, tetapi juga transportasi berbasis rel yang dimiliki Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, seperti MRT dan LRT.
Sistem Jak Lingko juga mengintegrasikan prasarana dengan PT KCI dan Railink, yang dimiliki PT KAI. Salah satu contoh integrasi tersebut dapat dilihat di kawasan Dukuh Atas, dimana empat moda transportasi umum terkoneksi secara nyaman melalui pedestrianisasi Jalan Kendal dan trotoar yang lebar.
Nama Jak Lingko diambil dari dua kata, yaitu “Jak” yang berarti “Jakarta” dan “Lingko” yang bermakna “jejaring” atau “integrasi”. Kedua kata ini diambil dari sistem persawahan tanah adat di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Baca Juga: Pemprov DKI Salurkan Rp3,9 Triliun Untuk Warga Tak Mampu Lewat KJP Plus
Kedua nama ini sengaja dipilih karena mencerminkan makna sistem transportasi terintegrasi yang sedang dibangun di ibu kota. Pemprov DKI Jakarta menargetkan 10.047 armada armada kecil, sedang, serta besar, terintegrasi Jak Lingko dan akan segera diremajakan tahun depan.
“Untuk implementasi pembatasan usia kendaraan angkutan umum sepuluh tahun akan direalisasikan maksimal pada 2020," ujar Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Syafrin Liputo.
Sistem pembayaran cashless dengan kartu Jak Lingko bertarif maksimal Rp 5.000 per tiga jam, khusus untuk transportasi berbasis jalan. Misalnya Anda naik bus TransJakarta pukul 07.00, lalu naik angkot yang sudah berlogo Jak Lingko pukul 08.30, dan kembali naik bus TransJakarta pukul 10.00, maka saldo dalam kartu Jak Lingko Anda akan berkurang Rp 5.000.
Kartu Jak Lingko seharga Rp 30.000 yang bersaldo Rp 10.000 dapat diisi ulang melalui ATM Bank DKI dan BNI. Dengan kemudahan itu, target penumpang angkutan umum di Jakarta mencapai 260 juta orang pada 2019, bertambah dari 145 juta penumpang pada 2017 dan 190 juta orang pada 2018. Ini merupakan salah satu indikasi keberhasilan Pemda DKI Jakarta memberikan alternatif pilihan moda transportasi bagi warganya.
Di samping mengurangi polusi udara dengan berpindah dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, kemacetan juga berkurang. Menurut data, kemacetan di Jakarta pindah posis, dari nomor empat menjadi ketujuh di dunia.
Baca Juga: 5000 Mahasiswa Nikmati Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul Dari Pemprov DKI
Integrasi layanan transportasi juga diperkuat dengan kolaborasi Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ) dan komunitas kreatif Kreavi, untuk memasang papan informasi seputar transportasi publik di 28 halte non BRT Koridor Sudirman. Informasi yang dipasang tersebut berupa peta, penanda (signage), dan penunjuk jalan (wayfinding) untuk memudahkan masyarakat maupun turis mancanegara dalam menggunakan kendaraan umum di Jakarta.