Kabinet Jokowi: Dramaturgi Pemilu dan Bangkrutnya Prinsip Minus Malum

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 23 Oktober 2019 | 15:04 WIB
Kabinet Jokowi: Dramaturgi Pemilu dan Bangkrutnya Prinsip Minus Malum
Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma'ruf Amin memperkenalkan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10). [ANTARA FOTO/Wahyu Putro]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Polarisasi dua kekuatan politik pada Pilpres 2019 sudah berakhir, setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto--sebagai sosok utama oposisi--menerima jabatan Menteri Pertahanan RI dari Presiden Jokowi.

Sebelum penetapan anggota kabinet, yang akan membantu presiden menjalankan roda pemerintahannya ke depan, ada peristiwa safari politik Prabowo.

Dia menemui para elite politik, di antaranya Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP NasDem Surya Paloh, Ketua Umum DPP PPP, Soeharso Monoarfa, Ketua Umum Golkar, Erlangga Hartarto, dan masih banyak lagi.

Publik sudah dapat menebak arah safari politik Prabowo itu, mengingat sikap Jokowi yang membuka seluas-luasnya pintu bagi kubu lawan politik dalam pemilu untuk bergabung dalam pemerintahan.

Baca Juga: Nadiem Makarim, Menteri Termuda Kabinet Jokowi Jadi Sorotan Dunia

Lantas, kesimpulan apa yang bisa ditarik dari bergabungnya kubu Prabowo dalam pemerintahan?

“Jawabannya adalah jelas, Jokowi sesungguhnya ingin membikin pemerintahan yang mayoritas atau majority rule, dengan menggandeng para tokoh oposisi. Itu berarti Jokowi tidak begitu tertarik pada sistem pemerintahan demokrasi,” kata Dosen Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Suryanto SSos MSi, Rabu (23/10/2019).

Elite politikus, kata dia, selalu mengklaim sistem politik Indonesia tidak mengenal oposisi. Bahkan, Prabowo berkali-kali mengatakan di Indonesia tak ada oposisi.

“Indonesia tidak mengenal oposisi, apalagi oposisi yang frontal. Kita lebih mengedepankan jalan musyawarah. Ya, itulah kata yang paling ‘sakti’ yang kerapkali digunakan para elite demi memuaskan syahwat kekuasaan politik,” kata dia.

Suryanto menuturkan, analisisnya bukan tanpa alasan kuat. Dalam kancah perpolitikan nasional kontemporer, rakyat cenderung diposisikan secara pasif, yakni hanya sekadar pemilih pada pemilu lima tahunan.

Baca Juga: Presiden Jokowi Ambil Sumpah Menteri Kabinet Indonesia Maju

Ketika pemilihan umum selesai, rakyat tidak bisa meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang sudah dipilihnya itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI