Suara.com - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Hanif Dhakiri mengatakan, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan masih dalam tahap kajian. Pemerintah tengah mengumpulkan aspirasi dari pemangku kepentingan untuk membahas revisi UU tersebut.
"Kami sudah bolak-balik bertemu dengan pengusaha dan serikat pekerja. Setiap bulan kami mengumpulkan mereka," katanya, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Ia mengatakan, perubahan UU Ketenagakerjaan bakal mencakup pembentukan ekosistem ketenagakerjaan yang lebih fleksibel. Hal tersebut sesuai dengan aspirasi yang disampaikan oleh pelaku usaha dan serikat pekerja.
Menurut Hanif, ekosistem ketenagakerjaan yang berlaku saat ini terlalu kaku dan kurang fleksibel. Kekakuan tersebut terlihat dari penciptaan lapangan kerja baru yang terjadi pada saat pemberlakuan uu tersebut.
Baca Juga: Cegah Perdagangan Anak, Ketua DPR Minta Kemenaker dan Polisi Gelar Razia
"Contohnya perang dagang yang seharusnya menciptakan peluang bagi Indonesia, tetapi ketika 33 perusahaan relokasi dari China 23 ke Vietnam dan 10 ke Malaysia, Thailand serta Kamboja, tidak ada satupun yang ke Indonesia," tuturnya.
Indikator ekosistem ketenagakerjaan yang fleksibel itu, lanjut Hanif, mencakup bebagai hal baik dari upah minimum, beban perusahaan seperti pesangon, dan jaminan sosial. Ia berharap, melalui UU Ketenagakerjaan baru, ekosistem kentenagakerjaan Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara lain.
Meski demikian, ia belum bisa memberikan target penyelesaian revisi UU Ketenagakerjaan itu.
"Saat ini, upah minimum kita saja di atas median upah dibandingkan negara lain. Negara lain rata-rata mereka di bawah median upah," katanya.
Rencana revisi UU Ketenagakerjaan ini menuai pro kontra, terutama dari kalangan buruh. Sejumlah aksi kelompok buruh menentang wacana revisi UU Ketenagakerjaan digelar di beberapa daerah sepanjang tiga pekan terakhir.
Baca Juga: Lewat Amnesti Yordania, Kemenaker Pulangkan Pekerja Migran dan Anak-anak
Kelompok buruh mensinyalir terdapat perubahan sejumlah pasal yang justru merugikan buruh dan pekerja.
Menurut catatan Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Nelson Saragih, untuk sementara ini saja, ia menemukan sedikitnya 50 pasal yang mengancam kesejahteraan kelompok buruh.
"Itu terus berkembang, tergantung tingkat pemahaman kita membedah poin tersebut. Kalau aku bilang sekarang sudah 50-an lebih, dan kemungkinan bertambah," kata Nelson.