Suara.com - Rentetan aksi massa damai anti-rasisme justru berakhir menjadi amuk di sejumlah daerah tanah Papua pada dua bulan September 2019.
Aksi protes itu sendiri dipicu pengepungan serta persekusi rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, tanggal 16-17 Agustus.
Sebagai respons, ribuan rakyat Papua turun ke jalan menyuarakan protes. Namun, dalam sejumlah kasus, demonstrasi itu berujung rusuh.
Misalnya, demonstrasi dama anti-rasisme yang digelar di Kota Jayapura, 29 Agustus. Hal yang sama juga terjadi di Wamena, ibu kota Kabupaten Jajawijaya, tanggal 23 September.
Baca Juga: Kisah Relawan Wamena, Banyak Orang Sembunyi di Kandang saat Rusuh
Direktur Aliansi Demokrasi Papua atau ALDP Latifah Anum Siregar mengatakan, ada sejumlah kejanggalan yang belum terungkap soal aksi damai tersebut bisa berbelok menjadi amuk massa.
Hal itu disampaikan Anum Siregar dalam diskusi bersama para aktivis hak asasi manusia, aktivis mahasiswa, perwakilan gereja, dan tokoh adat dengan petinggi Komisi Nasional HAM RI.
Dalam dikusi itu, terdapat Ketua Komisi Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik serta anggotanya, Beka Ulung Hapsara. Diskusi itu digelar di kantor Komnas HAM Perwakilan Papua di Jayapura, Senin (14/10) petang.
“Kami dampingi [mereka yang ditangkap] ke polisi. Polisi mengungkap hal-hal yang saya pikir jauh lebih tepat kalau Komnas HAM mengungkap itu,” kata Anum Siregar seperti diberitakan Jubi.co.id, Rabu (16/10/2019).
Sejumlah hal yang harus diungkap itu adalah para aktor intelektual di balik sejumlah insiden tersebut.
Baca Juga: Komnas HAM Papua Minta Pengungsi Wamena dan Media Tak Sebar Hoaks
Anum Siregar juga membandingkan, mengapa aksi anti-rasisme di Jayapura pada 19 Agustus 2019 berlangsung damai.