Suara.com - Sejumlah akun di Indonesia dihapus Facebook karena terlibat dalam penyebaran informasi bohong atau hoaks.
Diberitakan Al Jazeera, sebanyak 443 akun, 200 halaman, dan 76 grup Facebook, serta 125 akun Instagram dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dihapus pada Kamis (3/10/2019).
Selain itu, ditemukan pula pembayaran dalam mata uang rupiah Indonesia sebesar USD 300 ribu atau setara Rp 4,2 miliar untuk iklan Facebook.
"Meskipun orang-orang di balik kegiatan ini berusaha menyembunyikan identitas mereka, penyelidikan kami menemukan tautan ke sebuah perusahaan media Indonesia InsightID," ujar Nathaniel Gleicher, kepala kebijakan keamanan siber Facebook.
Baca Juga: Sebut Kondisi di Papua Sudah Aman, Wiranto Minta Aparat Tetap Waspada
Melalui investigasi gabungan BBC dan Australian Strategic Policy Institute (ASPI) selama dua bulan, ditemukan pula jaringan akun yang "Tidak autentik dan diotomatisasi" di laman daring, Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram.
Akun-akun tersebut membagikan video berkualitas tinggi dalam Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris serta konten berbahasa Indonesia.
Analisis jaringan bot di Twitter
Dikutip dari BBC, Jumat (11/10/2019), Elise Thomas, periset dari International Cyber Policy Center di ASPI, mengatakan, "Akun-akun bot sangat mudah dikenali. Mereka berbagi konten yang sama, pada waktu-waktu yang tidak biasa, dengan algoritma yang serupa."
Tak hanya di Facebook, jaringan bot yang menyebarkan hoaks maupun propaganda pro-pemerintah soal Papua juga melancarkan aksinya di Twitter.
Baca Juga: Sakit di Sel Isolasi, Tahanan Politik Papua Surya Anta Dibawa ke RS Brimob
Temuan kampanye jaringan bot di Twitter itu dijabarkan Benjamin Strick, penyelidik open source (sumber terbuka) BBC Africa Eye, dalam laman jurnalisme investigasi Bellingcat.com, Selasa (3/9/2019).
Dalam laporan analisis berjudul "Twitter Analysis: Identifying A Pro-Indonesian Propaganda Bot Network", Strick menyebutkan, konten propaganda pro-pemerintah Indonesia yang disebar di Twitter itu justru menggunakan tagar seperti #FreeWestPapua, #WestPapuaGenocide, #WestPapua, dan #fwpc.
Temuan ini muncul setelah Strick menangkap aktivitas dari Twitter menggunakan tagar #WestPapua dan #FreeWestPapua dari 29 Agustus - 2 September 2019. Data yang diambil digunakan untuk melakukan analisis jaringan.
Ia pun membuat tabulasi data dengan rincian yang terdiri dari nama pengguna yang men-tweet tagar di atas, nama pengguna yang me-retweet dan menyukai postingan itu, cap waktu, URL, dan jenis kegiatan (tweet, retweet, quote, dan mention).
Strick lantas memvisualisasikan masing-masing jaringan melalui platform visualisasi sumber terbuka Gephi. Data direpresentasikan melalui dua media yakni node dan edge.
Node adalah lingkaran berwarna, yang merepresentasikan akun Twitter, dan ukurannya bervariasi berdasarkan interaksi akun.
Sementara edge adalah garis yang menghubungkan nodes, yang mewakili hubungan antar-akun, seperti retweet atau quote.
Sebagian besar jaringan memiliki gelembung "influencer", yakni lingkaran yang berukuran besar. Biasanya akun-akun itu memiliki banyak pengikut.
Salah satu akun bot yang dijadikan contoh oleh Strick adalah @marco26700420, yang ia arsipkan melalui Wayback Machine.
Bot ini, kata Strick, dibuat pada Juni 2019 untuk menyebarluaskan informasi dengan memanfaatkan berbagai tagar yang digunakan pihak pro-referendum tentang Papua Barat dan gerakan kebebasan.
Dengan cara sederhana melalui reverse image search di mesin pencarian gambar Yandex, foto yang dipakai menunjukkan bahwa akun itu tidak asli lantaran sebelumnya pernah diunggah oleh orang lain.
Yang lebih meyakinkan bahwa akun itu adalah bot, pengikut dan akun-akun yang diikuti sesuai dengan nama-nama di jaringan yang dipaparkan Strick.
Selain itu, semua tweet-nya sama seperti akun-akun yang lain, dengan tagar yang sama.
Banyak dari tweet itu menyiratkan bahwa akun ini mendorong perspektif yang membuat penasaran, misalnya, "What are some secrets that Indonesia have been hiding in West Papua? Find out the answers here." (Apa rahasia yang disembunyikan Indonesia di Papua Barat? Temukan jawabannya di sini.)
Kalimat yang sama persis juga dicuitkan oleh banyak bot lain menggunakan tagar #westpapuagenocide dan #freewestpapua pada jam yang berbeda, tetapi menit dan detiknya sama.
Contoh bot lain yang berada dalam jaringan adalah @kevinma40204275 dan @yerxi1.
Menurut keterangan Strick, kejahatan yang dilakukan melalui akun-akun bot itu yakni memperbanyak konten pro-pemerintah sebagai pengalihan isu tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua Barat serta mempromosikan kegiatan pemerintah Indonesia di daerah tersebut.
Lembaga media sosial InsightID
Selain tagar, taktik yang digunakan dalam jaringan itu adalah membuat akun dengan nama yang mirip akun pro-referendum, misalnya, dikutip dari BBC Indonesia, akun @westpapuaamerdeka, yang hampir sama dengan akun pro-kemerdekaan, @westpapuamedia.
Di samping itu, ada satu akun bot lain yang menarik, yaitu @West_Papua_ID. Tak hanya bekerja bersama dengan bot dalam jaringan, West Papua ID juga memiliki akun sendiri di platform media sosial lain dan situs web.
Laman daringnya, westpapuaindonesia.com, terhubung ke kanal YouTube yang populer, akun Instagram dengan 10 ribuan pengikut, dan halaman Facebook dengan 152 ribu pengikut.
Kesemua unggahan akun tersebut menyebarkan materi serupa, yakni tentang Papua Barat yang pro-pemerintah Indonesia.
Dilaporkan BBC Indonesia, domain ini, begitu juga empat website lain, terdaftar atas satu nama yang diduga palsu, Westi Pearly.
Setelah ditelusuri menggunakan WhatsApp, rupanya nomor telepon yang terhubung dengan akun itu juga terhubung ke akun Facebook, LinkedIn, dan akun Freelancer pribadi bernama Pera Malinda Sihite, yang mengklaim dirinya sebagai co-founder perusahaan konsultan media sosial InsightID.
Salah satu proyek InsightID adalah "Papua Program Development Initiative". Proyek tersebut meneliti perkembangan sosio-ekonomi Papua yang pesat dan mengeksplorasi tantangannya, seperti tertera di website insightid.org, yang kini sudah tak bisa diakses.
Hasil investigasi juga menemukan bahwa 14 domain yang berhubungan dengan Papua telah didaftarkan di hari yang sama menggunakan email co-founder InsightID Abdul Aziz.
Namun, setelah BBC berusaha menghubungi Abdul Aziz dan Pera Malinda Sihite melalui telepon, keduanya tak menjawab, dan permintaan hak jawab yang dikirim lewat surel juga tidak mendapat balasan.
Di lain sisi, setelah Facebook mengabarkan keterlibatan InsightID dalam penyebaran hoaks soal Papua, sejumlah akun terkait lembaga media sosial itu membagikan pengumuman berupa klaim sepihak berbunyi, "Konten kami membela Indonesia melawan narasi hoaks kelompok separatis Papua Merdeka."
Selain itu, mereka juga merepons kabar soal kucuran dana 300 ribu dolar AS untuk iklan di Facebook. Mereka membantahnya dan menyebut bahwa jumlah itu merupakan gabungan dari beragam kelompok yang mengangkat isu Papua.
Giring opini dunia internasional
Dikutip dari BBC Indonesia, Elise mengatakan, "Berdasar temuan dari investigasi ini, kami menduga bahwa tujuan kampanye ini adalah menggunakan media sosial untuk mempengaruhi opini dunia internasional mengenai Papua."
"Kampanye seperti ini khususnya akan menjadi lebih efektif dalam konteks Papua yang hanya punya sedikit akses pada media yang independen," lanjutnya.
Dirinya khawatir, kebijakan pemerintah negara lain dan forum internasional seperti PBB berpotensi terpengaruh oleh misinformasi dan disinformasi ini.
Negara yang menjadi target antara lain AS, Inggris, Swedia, Belanda, dan Jerman, demikian seperti diberitakan BBC Indonesia.