Ramai, Akun Najwa Shihab dan Gerindra 'Perang' di Kolom Komentar Instagram

Rabu, 09 Oktober 2019 | 08:37 WIB
Ramai, Akun Najwa Shihab dan Gerindra 'Perang' di Kolom Komentar Instagram
Najwa Shihab ditemui di sela-sela jumpa pers kembalinya program talkshow Mata Najwa, di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, Senin (8/1/2018) [suara.com/Ismail].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Warganet di jejaring sosial Instagram tengah diramaikan perang komentar antara akun jurnalis Najwa Shihab dan Partai Gerindra.

Adu argumen keduanya menjadi pusat perhatian publik di unggahan akun resmi @gerindra pada Selasa (8/10/2019) tentang UU KPK.

Unggahan tersebut menampilkan cuplikan video dengan thumbnail Ketua Partai Nasdem Surya Paloh, disertai keterangan yang menyinggung Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"RUU KPK, Presiden @Jokowi Pilih Partai Pendukung Atau Rakyat?" tulis @gerindra.

Baca Juga: Foto Lama Dengan Tommy Soeharto Viral, Najwa: Serangan Personal yang Jahat

Baru sejam video tersebut diunggah, akun resmi Instagram @najwashihab memberikan komentar untuk mempertanyakan maksud 'rakyat' di keterangan @gerindra.

Pasalnya, kata Najwa Shihab, fraksi Gerindra di DPR menyatakan menolak revisi UU KPK, tetapi Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas, yang notabene kader Gerindra, justru menolak masukan publik untuk revisi UU KPK.

"Fraksi Anda secara resmi setuju terhadap Revisi UU KPK. Kader Anda Ketua Baleg yang memimpin pembahasan revisi UU secara kilat dan menolak masukan publik. Lalu publik/rakyat mana yang Anda maksud? @gerindra," tulis @najwashihab.

Gerindra kemudian beralasan bahwa keputusan Baleg atas Revisi RUU KPK dibuat melalui musyawarah.

Lantas, karena Gerindra dan PKS kalah suara dibanding delapan fraksi lain yang setuju dengan RUU KPK, maka akshirnya revisinya disahkan.

Baca Juga: Ketua DPR : Saya Tidak Pernah Diajak Bicara Langsung oleh Najwa Shihab

"Baik Kak @najwashihab, pengambilan keputusan Baleg Revisi RUU KPK adalah kolektif kolegial. Anggota legislasi FPDIP 14 orang, Golkar 11 orang, Gerindra 9 orang, Nasdem 5 orang, PKB 6 orang, PPP 5 orang, dan PAN 5 orang. Dalam hal ini Gerindra dan PKS menolak, namun karena mayoritas fraksi (8 dari 10) menyetujui, akhirnya Fraksi Gerindra harus menghormati keputusan mayoritas fraksi," jawab @gerindra.

"Presiden meminta DPR untuk melakukan revisi UU KPK, RUU KPK dirancang dan keluarlah ANPRES dari Presiden dan dibahaslah RUU ini. Berjalannya waktu, Fraksi Gerindra dan PKS jelas menyatakan penolakan, tapi 8 fraksi lain menyetujui dan akhirnya disahkan dengan catatan-catatan yang telah fraksi ini berikan. Salam Indonesia Raya," lanjutnya.

Komentar Najwa Shihab di akun Instagram @gerindra - (Instagram/@gerindra)
Komentar Najwa Shihab di akun Instagram @gerindra - (Instagram/@gerindra)

Jawaban tersebut rupanya tak memuaskan Najwa Shihab, yang kembali menanyakan komitmen Gerindra menolak RUU KPK.

Najwa Shihab menggarisbawahi, penolakan Gerindra bukanlah pada RUU KPK maupun kewenangan dewan pengawas yang diatur di dalamnya, melainkan pemilihan Dewan Pengawas KPK oleh presiden.

Ia mengatakan, pernyataan itu disampaikan Supratman sendiri di sidang paripurna dan Mata Najwa episode KPK.

Karena itu, 'kalah suara' menjadi dalih yang tak masuk akal. Najwa Shihab pun mengungkit sikap walk out Gerindra saat kalah suara dalam pengesahan UU Pemilu.

"Fraksi Gerindra bukan menolak, tapi menyetujui Revisi UU KPK dengan catatan. Gerindra tidak setuju Dewan Pengawas KPK ditunjuk Presiden, bukan tidak setuju soal Dewan Pengawas. Hanya satu itu saja. Kewenangan Dewas memberikan izin penyadapan juga tidak dipersoalkan oleh Fraksi Gerindra. Bisa disimak ulang pidato ketua fraksi anda yg membacakan sikap ini di sidang paripurna. Sila tonton juga @matanajwa eps KPK, ada kader anda Supratman, Ketua Baleg yang juga menyampaikan hal ini," ungkap @najwashihab.

"Alasan terpaksa sepakat karena kalah suara menjadi aneh karena kalau memang menolak maka sikap fraksi seharusnya jelas seperti saat Fraksi Gerindra menolak dan walk out hingga kalah voting pada saat pengesahan UU Pemilu. Salam Narasi TV," imbuhnya.

Atas pernyataan Najwa Shihab ini, Gerindra menegaskan selalu memperjuangkan aspirasi publik. Namun, perjuangan tersebut berat karena memerlukan jumlah kursi yang banyak di DPR.

"Partai Gerindra selalu mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi publik, tidak terkecuali publik yang bukan pemilih atau tidak memilih Partai Gerindra, termasuk aspirasi Mbak @najwashihab. Apakah Mbak juga pernah menyampaikan aspirasi dan kekecewaan Mkba tersebut kepada partai, legislatif, dan pemimpin yang menjadi pilihan Mbak pada pemilu yang lalu?" tanya @gerindra.

"Untuk berjuang di parlemen membutuhkan jumlah suara (kursi) yang besar. Pada periode lalu Partai Gerindra mempunyai 73 kursi dan saat ini naik menjadi 78 kursi, dengan jumlah tersebut sebuah perjuangan yang tidak mudah bagi Partai Gerindra untuk memperjuangkan aspirasi publik," sambungnya.

Komentar Najwa Shihab tak ayal menduduki posisi teratas di unggahan @gerindra itu. Banyak warganet ikut menimpali keduanya, hingga jumlah balasan hampir menyentuh angka 300.

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah disahkan DPR melalui sidang paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Meski telah disahkan, UU KPK masih kontroversial karena sejumlah pasal dianggap 'ngawur', salah satunya tentang dewan pengawas.

Dalam program Kabar Petang tvOne, yang ditayangkan di kanal YouTube tvOneNews, Minggu (15/9/2019), Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengungkapkan bahwa tugas dari dewan pengawas antara lain memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Lantas, jika penyadapan harus dilakukan atas izin dewan pengawas, maka upaya memberantas korupsi tak akan berjalan lancar.

"Kalau kita bicara teknis kemudian OTT, kira-kira ya, kalau mau ada transaksi, ada peristiwa tindak pidana korupsi, suap misalnya. Kalau izin dulu untuk menyadap, kira-kira catch up enggak? Sudah lari itu buruannya, jangan-jangan begitu," ucap Refly Harun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU yang telah disepakati bersama DPR dan pemerintah harus dikirim ke presiden untuk disahkan.

Namun, setelah disahkan DPR pada 17 September 2019, UU KPK hasil revisi, yang menuai kontroversi, hingga kekinian belum ditandatangani Presiden Jokowi lantaran, menurut keterangan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, mengandung banyak tipo atau salah ketik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI