Suara.com - Penulis dan pegiat media sosial Denny Siregar menjawab beberapa pertanyaan seputar tuduhan dirinya penyebar hoaks dan cuitannya yang dianggap berbahaya. Hal ini disampaikan Denny Siregar dalam acara QnA dengan tema "Dicari Warganet" yang tayang di Metro TV pada Minggu (6/10/2019).
Denny Siregar hadir sebagai tamu di acara itu untuk menjelaskan cuitan-cuitannya yang dianggap berbahaya. Misalnya, cuitan tentang ambulan pembawa batu yang diunggahnya.
Dia juga pernah dilaporkan karena dianggap menghina rakyat Aceh karena ulasan soal poligami.
Berbagai tagar seputar Denny Siregar pun kerap menjadi trending topic di Twitter. Seperti: #DennySiregarDicariAnakSTM dan #DennySiregarPenyebarHOAX.
Baca Juga: Tak Mau Disamakan dengan Buzzer, Rocky Gerung Jelaskan Bedanya
Sultan Rivandi, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang hadir dalam acara tersebut bertanya, "Tadi bang Denny bilang menghormati polisi makanya menghapus (cuitan) Twitter yaitu salah satu etika sosial media saya, emang etika dalam paham abang itu seperti apa?"
Denny Siregar menjawab, "Saya tidak menyebarkan berita-berita bohong, mencoba, jika kemudian terjebak, saya minta maaf. Yang kedua, saya tidak kasar, saya tidak pernah menorehkan kata-kata seperti bang Rocky, misalnya 'Dungu', gitu enggak."
"Pernah adakah kata-kata kasar dalam saya menyakiti hati seseorang secara fisik? Kalau bertarung ide, saya membutuhkan pertarungan ide, pertarungan narasi tulisan, bukan personal. Kata-kata buzzer, buat saya itu adalah cara yang paling lemah untuk menghajar seseorang ketika narasinya di media sosial kalah dengan saya," imbuhnya.
Menurut Denny Siregar, menunjuk seseorang itu buzzer adalah cara paling mudah untuk menghancurkan karakternya.
Pria yang lebih suka disebut dengan influencer ini tidak masalah jika ada yang menyebutnya sebagai buzzer. Denny beranggapan buzzer hanya mendengungkan berita-berita yang disampaikan kepada publik.
Baca Juga: Rocky Gerung: Jika Istana Gaji Buzzer, Tak Ada Lagi Alasan Basmi Hoaks
Sultan Rivandi melanjutkan pertanyaannya, "Abang paham gak kalau di sosial media itu tidak semua pemahaman sama, tidak semua umur pengguna sama, tidak latar belakang pendidikannya sama, abang mengira tidak sih tweet-tweet abang itu sebenarnya berbahaya?"
Denny Siregar langsung menjawab tegas, "Dari mana saya dibilang berbahaya?"
"Jadi, kalau gitu kalau kemudian mas, main Twitter? main Facebook tidak? Berarti mas berbahaya buat saya? Di mana saya berbahayanya? Tunjukkan satu di mana saya berbahayanya," imbuh Denny.
Budi Setyarso, jurnalis senior Tempo kemudian menyela, "Ada satu hal yang berbahayanya tidak secara langsung. Yang pertama, perlakuan aparat hukum kita kepada kelompok-kelompok yang pro pemerintah tidak sama dengan kelompok yang kritis pada pemerintah. Jadi ketika ada kelompok yang dianggap menyebarkan hoaks langsung ditindak secara hukum."
"Ada juga ketika kelompoknya mas Denny dan kawan-kawan melakukan doxing, menyebarkan identitas pribadi orang yang kemudian dibully sejagat maya, enggak ada tindakan apapun dari pemerintah. Itu secara sistem akan membahayakan kita, karena ada semacam perlakuan yang tidak sama. Nah ini orang curiga karena kelompok-kelompoknya mas Denny di-backup sama pemerintah," imbuhnya.
Denny Siregar menjawab tudingan-tudingan atas dirinya tersebut hanya sebuah propaganda. "Kasus Aceh itu saya tidak menghina. tetapi dibangunlah propaganda bahwa saya menghina bangsa Aceh. Yang saya kritik itu adalah parlemen Aceh," ujarnya.
Sebelumnya, pada Juli 2019 lalu Denny Siregar telah dilaporkan oleh Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh terkait perbuatan tindak pidana penghinaan/ujaran kebencian melalui media elektronik dengan nomor laporan Nomor: LP/B/0657/VII/2019.
DPA PA melaporkan penulis tersebut setelah video Denny Siregar yang diunggah 9 Juli 2019 ke YouTube dianggap sangat tendensius, melontarkan kata-kata dan kalimat, terkait rencana pelaksanaan Qanun Hukum Keluarga, yang salah satu pasalnya, mengatur tentang tata cara poligami di Aceh.