"Orang bilang, 'kamu di Australia, tapi keluargamu ada di Indonesia dan kami bisa mencarinya.'"
DIberitakan SBS News, lebih dari 6.000 tentara Indonesia telah dikerahkan ke Papua dan Papua Barat dalam upaya meredam massa yang melakukan demonstrasi anti-rasisme dan menuntut kemerdekaan. Aksi demokratis tersebut sudah berlangsung sejak enam minggu lalu.
Veronica Koman mengatakan, sekitar 100 orang Papua Barat telah dipenjara karena terlibat dalam demo.
Sejumlah lainnyadituduh melakukan pengkhianatan kepada RI karena membawa bendera Bintang Kejora Papua.
Baca Juga: Generasi Papua Muda Inspiratif Temui Moeldoko
Sejak 1960-an, menurut pemberitaan SBS News, situasi antara penduduk asli Papua dan orang Indonesia telah mengalami ketegangan terkait etnis dan agama, yang kemudian memuncak dengan kerusuhan baru-baru ini.
Pada 1969, dalam Act of Free Choice alias Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), lebih dari 1.000 orang Papua yang sudah dipilih, dengan suara bulat, dan sambil ditodong senjata, memilih untuk tetap berada di bawah kekuasaan Indonesia.
Sejak saat itu, kelompok-kelompok yang mendukung kemerdekaan Papua Barat mengatakan, rakyatnya telah mengalami "genosida pelan-pelan", tak jauh berbeda dari situasi Timor-Leste 20 tahun lalu.
"Kami berada pada masa paling gelap dalam 20 tahun," kata Veronica Koman.
"Saya belum pernah melihat angka kematian dan tindak kekerasan sebanyak ini, versi pemerintah 33 orang tewas dalam satu hari, itu yang terburuk."
Baca Juga: Anggota DPR Menangis Ingat Konflik Papua, Sebut Sidang MPR Sandiwara
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne, menurut SBS News, telah mendesak "pengekangan di kedua sisi", dan membuat marah banyak orang Papua yang percaya bahwa Australia harus mengambil sikap yang lebih tegas terhadap kekerasan.