Beda Aksi Mahasiswa 1998 dengan 2019: Gembira Ria Lawan Penguasa

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 25 September 2019 | 15:24 WIB
Beda Aksi Mahasiswa 1998 dengan 2019: Gembira Ria Lawan Penguasa
[Facebook/Dandhy Dwi Laksono]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dua hari gelombang aksi mahasiswa di banyak kota-kota Indonesia, yang fokus memprotes sejumlah RUU bermasalah dan kinerja DPR, Senin hingga Selasa (23-24/9) pekan ini, membuat mata elite terbelalak.

Para mahasiswa bersungguh-sungguh menentang beragam rancangan undang-undang represif terhadap kebebasan berekspresi maupun demokrasi, serta juga mengancam kepentingan rakyat.

Namun, para mahasiswa mengikuti aksi tersebut dengan gembira ria. Poster-poster yang mereka usung juga bertuliskan kalimat lucu, meski tak kehilangan napas kritiknya.

Banyak orang lantas memperbandingkan aksi mahasiswa terbesar dalam kurun waktu satu dekade terakhir tersebut, dengan demonstrasi era 98.

Baca Juga: 6 Poster Lucu Aksi Mahasiswa: 1 Permen Milkita = 4 Otak DPR

Salah satunya adalah Amalinda Savirani, dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.

Berikut tulisan Amalinda yang dikutip dari The Conversation.com berjudul "Catatan Aktivis '98 untuk demo mahasiswa 2019: lanjutkan perjuangan!"

KETIKA PELAJAR SELURUH DUNIA menggelar aksi unjuk rasa menuntut perubahan atas krisis lingkungan, gelombang demonstrasi yang dimotori mahasiswa telah berlangsung sejak minggu lalu di banyak kota di Indonesia.

Ribuan mahasiswa di setidaknya enam kota di seluruh Indonesia melakukan aksi unjuk rasa terhadap upaya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang mereka anggap mengancam semangat reformasi yang sudah dibangun 20 tahun terakhir.

Lewat aksi yang yang berlangsung Senin kemarin, 23 September, mereka mengajukan setidaknya tujuh tuntutan.

Baca Juga: Aksi Mahasiswa Disambut Tepuk Tangan dari Penumpang KRL

Mahasiswa bolos kuliah, turun ke jalan untuk memprotes perilaku para elit politik negeri yang telah meloloskan beragam regulasi strategis, yang akan makin menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Setidaknya 232 orang menjadi korban dari aksi demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah tersebut dan tiga mahasiswa kritis di Sumatra Selatan.

Sedih mendengar jatuhnya korban, tapi saya juga dihinggapi perasaan optimistis akan peran orang muda Indonesia di masa depan.

Melihat aksi mereka, saya seperti terlempar pada momentum lebih dari dua dekade lalu, saat menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM).

Saya terlibat juga pada aksi protes mahasiswa tahun 1998 sebagai simpul koordinasi gerakan di UGM. Yogyakarta bersama kota-kota lain memiliki tuntutan yang sama: menuntut Soeharto turun jabatan, supremasi sipil, dan menuntut bekerjanya demokrasi secara luas.

Sebagai mantan ketua BEM dan saat ini sebagai dosen politik dan pemerintahan di Fisipol UGM, saya mencatat beberapa hal penting atas dua gerakan mahasiswa yang meskipun terpaut 20 tahun lebih tapi membawa semangat yang sama yaitu menggugat penguasa yang tidak becus bekerja.

Beda yang dulu dan sekarang

Aksi mahasiswa milenial dan generasi Z tahun 2019, lebih dari dua dekade kemudian, memiliki beberapa perbedaan dan juga kesamaan dengan generasi 1998.

1. Jenis isu

Isu yang dikelola angkatan 1998 bersifat tunggal. Kami waktu itu hanya menuntut Soeharto dan kroninya mundur dari kekuasaannya.

Sebaliknya, isu aksi angkatan 2019 sangat beragam dan sektoral. Mulai dari isu terkait tata kelola pemerintahan (UU KPK); perlindungan kelompok minoritas yang paling lemah yakni perempuan dan orang miskin (RKUHP, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)); isu terkait sumber daya alam (RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Alam, RUU Mineral dan Batu Bara, masalah kebakaran hutan).

Beragam isu ini disertai dengan beragam aktor-aktor politik dan ekonomi di setiap isu tersebut. Para aktor politik dan ekonomi ini memiliki misi untuk menggiring opini publik juga. Hasilnya adalah masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, rentan terhadap fragmentasi, baik dari segi isu maupun pengelompokan sosial.

Akibat lanjutnya adalah sulit sekali mencari common ground atau kepentingan bersama yang menyatukan semua kelompok, dan selanjutnya musuh bersama. Musuh gerakan 2019 ini sangat banyak, termasuk para senior mereka sendiri–aktivis ‘98–baik yang telah duduk di posisi strategis lembaga negara dan partai politik, atau yang sekadar menjadi pengamat.

Poster unik massa aksi mahasiswi di Malang. [Suara.com/Aziz Ramadani]
Poster unik massa aksi mahasiswi di Malang. [Suara.com/Aziz Ramadani]

Generasi 1998 tidak mengalami kerumitan isu ini. Isunya tunggal yakni turunnya Suharto. Common ground kami sudah terbentang rapi. Sehingga saat rapat persiapan aksi, yang kami resahkan lebih pada strategi berhadapan dengan aparat yang mungkin akan sangat represif.

Dalam rapat-rapat tersebut, kami diteror kabar yang menciutkan hati. Konon, ratusan tentara sedang dalam perjalanan dari Jakarta untuk menghalau aksi.

Selain itu, isu yang diusung generasi 2019 lebih nyata dan bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya mereka menolak RKUHP karena salah satu pasalnya akan mengancam pekerja generasi Z dan milenial yang pulang malam dengan denda yang signifikan angkanya.

Sedangkan isu yang diusung generasi 1998 sangat besar dan makro yang 'nun jauh di sana’. Generasi 1998 mengangkat isu terkait dengan hak politik seperti kebebasan berpendapat dan berkumpul. Isu yang diangkat tidak terlalu menyentuh hak warga sehari-hari, seperti kebebasan untuk melakukan mobilitas fisik seperti bepergian karena bekerja.

Dulu, tentara dan orang tua tersayang adalah dua pihak yang paling kami takuti. Tentara akan mementungi kami, dan mengejar kami sampai ke kampus. Orangtua akan menelepon dan berpesan pelan untuk fokus pada kuliah. Sekarang, para orang tua pasti masih mengirim pesan pada para ananda. Peran tentara diganti para polisi.

2. Peran penting media sosial

Penggunaan teknologi informasi adalah kunci dari cepatnya proses persiapan aksi protes mahasiswa kali ini. Generasi 2019 sangat mahir dalam penggunaan media sosial. Mereka melakukan koordinasi, penyebaran informasi, dan bahkan penggalangan dana untuk mendukung aksi unjuk rasa melalui media sosial.

Info tentang aksi bisa dengan cepat disebarluaskan. Gerakan masa kini bisa dengan mudah menjadi inklusif, merangkul sebanyak mungkin pihak.

Tagar #SemuaBisaKena, dan #ReformasiDikorupsi yang muncul di media sosial adalah strategi yang sangat baik untuk membangun kesamaan yang mampu menyatukan semua elemen warga di tengah banyaknya isu yang diperjuangkan.

Pada 1998, alat komunikasi yang tersedia adalah sambungan telepon rumah dan telepon umum. Sehingga koordinasi aksi membutuhkan waktu berminggu-minggu. Ketiadaan alat komunikasi dan media sosial tersebut menyulitkan gerakan untuk menjadi inklusif, merangkul semua kalangan dari beragam elemen.

Poster unik mahasiswa saat aksi Gejayan Memanggil. (Twitter)
Poster unik mahasiswa saat aksi Gejayan Memanggil. (Twitter)

Terus maju

Sebagai bagian dari sejarah yang berhasil meruntuhkan dinasti Suharto pada 1998, saya melihat begitu banyak hal yang menarik dan lebih canggih dari gerakan mahasiswa saat ini dibanding 20 tahun yang lalu.

Ada setidaknya tiga hal yang bisa menjadi pembelajaran penting buat kita semua dalam aksi bersama menggugat penguasa:

Pertama, pentingnya untuk terus mencari kesamaan dan “musuh bersama”, membuat platform kolektif, agar gerakan bisa menjangkau lebih banyak warga baik di kampus maupun luar kampus, dan agar gerakan bisa lebih berkelanjutan.

Semakin banyak dukungan semakin baik. Kerja kreatif dengan menghasilkan berbagai hashtag seperti #SemuaBisaKena akan sangat mendukung gerakan.

Kedua, terus menjadi diri mereka sendiri dan bergembira saat aksi.

Generasi ini ditandai dengan kadar “kerecehannya” yang sangat tinggi. Angkatan 2019 berbeda dengan angkatan 1998 yang selalu hikmat dan serius, dan cenderung baperan. Mungkin karena kami selalu takut dikejar tentara, ditekan petinggi kampus, atau merasa frustasi karena sulitnya mengajak rekan mahasiswa untuk ikut aksi. Isi spanduk kami pun sangat serius dan berwibawa. Bagi kami menulis spanduk nyeleneh mengkhianati perjuangan.

Namun, atmosfer aksi di Yogyakarta Senin lalu penuh dengan kegembiraan. Demikian juga di kota lain, sebelum dipentung dan dikejar para polisi.

Ketiga, perlunya untuk terus mengoptimalkan platform media sosial sebagai alat membangun gerakan dalam rangka mendorong gerakan yang lebih inklusif dan luas. Pemanfaatan teknologi adalah salah satu kunci bagi kelancaran konsolidasi gerakan mahasiswa saat ini.

Sungguh, kami perlu banyak belajar dari gerakan mahasiswa 2019!

The Conversation

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI