11. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
12. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi, yaitu.
Pasal 6 huruf a
KPK bertugas melakukan:
a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi
• Hal ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat tersebut agar tidak menerima suap.
13. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK
• Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut;
• Ada ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penaydapan tersebut;
• Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya
14. Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus;
• Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi;
• Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri;
Baca Juga: Resmi Tersangka, KPK Langsung Tahan Dirut Perum Perindo dan Mujib
15. Berkurangnya kewenangan Penuntutan
• Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas Penyidikan”, padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa.
• Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas Penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap Terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di Penuntutan;
16. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait.
• Tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
17. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN;
18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN;
19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum.
Baca Juga: Tanggapi Moeldoko Soal SP3, KPK: Jangan Digeneralisasi
20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu. Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa;