Suara.com - Juru bicara Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Ones Suhuniap, membantah tuduhan Kapolres Jayawijaya bahwa aktivis mereka memakai seragam SMA untuk menyusup dalam massa pelajar yang berdemonstrasi anti-rasis di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (23/9) awal pekan ini.
Ones Suhuniap menegaskan KNPB tidak terlibat dalam aksi para pelajar yang berkembang menjadi amuk massa di Wamena itu.
Dia menilai, polisi cenderung selalu menjadikan KNPB kambing hitam pada berbagai peristiwa di Papua.
“Setiap aksi yang terjadi di Papua, polisi selalu mengambinghitamkan KNPB. Sama halnya dengan lempar batu sembunyi tangan. Polisi harus bicara sesuatu sesuai dengan fakta di lapangan,” kata Ones Suhuniao kepada Jubi.co.id melalui pesan singakat.
Baca Juga: Rumah Dibakar Massa, Satu Keluarga di Wamena Tewas Terpanggang
Suhuniap meminta polisi tidak asal-asalan menuduh KNPB. Ia menyatakan, KNPB justru telah mengeluarkan imbauan agar rakyat tidak berunjukrasa pada 23 September 2019.
“Kami KNPB secara resmi keluarkan imbauan kepada rakyat bawah tidak [berunjukrasa] tanggal 23 september 2019,” katanya.
Ia mengatakan, polisi tidak bisa menutupi kesalahannya dengan mengambing hitamkan KNPB.
“Polisi harus mampu mengungkap siapa yang menyebabkan 16 warga sipil tewas, dan 65 lainnya terluka. Sebab, setiap penambakan tidak pernah terungkap siapa pelakunya. Jadi, jangan selalu tuduh KNPB. Apakah KNPB punya pabrik senjata dan memiliki peluru untuk bunuh orang? Yang punya senjata dan peluru adalah aparat kepolisian dan TNI,” kata Suhuniap.
Ketua DPR Papua Yunus Wonda mengatakan, masyarakat Papua merasa tidak nyaman melihat aparat keamanan yang diperbantukan ke Papua, berjaga di berbagai lokasi dengan senjata.
Baca Juga: Korban Tewas Kerusuhan di Wamena Bertambah Jadi 22 Orang, Satu Kritis
Wonda meminta aparat keamanan mulai mengedepankan pendekatan humanis kepada masyarakat.
“Kami melihat juga [aparat keamanan] memegang senjata. Posisinya bukan [digantungkan], tapi kami lihat rata-rata posisi [senjata seakan] siaga. Ini harus dihindari. Saya pikir tidak harus posisi senjata seperti itu, karena membuat masyarakat merasa tidak nyaman,” kata Yunus Wonda.