Suara.com - Kerusuhan Papua terus disorot media asing, terlebih setelah korban jiwa berjatuhan. Terbaru ini, The Washington Post menotal, sebanyak 20 orang telah tewas selama kerusuhan Papua, yang tiga di antaranya ditembak polisi.
Pada Senin (23/9/2019), Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua digegerkan protes keras dari ratusan orang, yang dipicu kabar bahwa seorang guru menghina muridnya 'monyet'.
Kapolda Papua Irjen Rudolf Albert Rodja menerangkan, massa membakar gedung-gedung pemerintah, toko-toko, rumah-rumah, dan kendaraan di beberapa ruas jalan menuju kantor bupati di Wamena.
Dalam kejadian tersebut, kata Kapendam XVII/Cenderawasih Letnan Kolonel CPL Eko Daryanto, setidaknya 16 warga sipil, termasuk 13 dari luar Papua, tewas di Wamena. Sebagian besar dari mereka terjebak dalam rumah atau toko yang dibakar.
Baca Juga: Bakal Demo di Gedung DPRD Jatim, Mahasiswa di Surabaya Angkat Isu Papua
Selain itu, dia mengatakan, satu tentara dan tiga warga sipil tewas dalam kerusuhan lainnya di Jayapura, Papua. Sekitar 65 warga juga menjadi korban luka di Wamena, dan lima petugas polisi terluka parah di Jayapura.
Tayangan di televisi menunjukkan api menyala-nyala dan asap hitam mengepul dari gedung-gedung yang terbakar di Wamena.
Menurut penuturan Rudolf, kerusuhan dipicu oleh ujaran rasis yang dilontarkan seorang guru SMA dari luar Papua yang mengajar di Wamena. Ia disebut-sebut mengatai siswa asli Papua "monyet".
Namun, menurut keterangan Rudolf yang diberitakan The Washington Post, hasil penyelidikan polisi tidak menemukan adanya bukti rasisme terhadap siswa, tetapi isunya telah menyebar hingga ke kalangan siswa di sekolah lain dan masyarakat setempat.
"Kami percaya informasi palsu ini sengaja dirancang untuk menciptakan kerusuhan," kata Rudolf. "Ini adalah hoaks, dan saya meminta orang-orang di Papua untuk tidak terprovokasi oleh berita yang tidak benar."
Baca Juga: Mahasiswa Papua Baca Puisi 'Ado Mamayo' di Aksi Gejayan Memanggil
Beberapa hari sebelumnya, menurut The Washington Post, pihak berwenang Indonesia berhasil mengendalikan situasi setelah berminggu-minggu terjadi kericuhan di Papua dan Papua Barat. Setidaknya satu tentara Indonesia dan empat warga sipil tewas dalam kekerasan itu.
Protes itu dipicu oleh video viral yang menunjukkan pasukan keamanan menyebut mahasiswa Papua "monyet" dan "anjing" di Kota Surabaya, Jawa Timur ketika mereka menyerbu asrama mahasiswa Papua, setelah bendera Indonesia ditemukan dalam keadaan robek di selokan.
Konflik antara orang asli Papua dan pasukan keamanan Indonesia kerap terjadi di wilayah Papua, yang merupakan bekas jajahan Belanda di bagian barat Papua Nugini dan secara etnis serta budaya berbeda dari sebagian besar wilayah Indonesia.
Papua bergabung dengan NKRI pada 1969 melalui referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB, tetapi proses dan hasilnya masih menuai kontroversi karena dianggap palsu.
Sejak saat itu, pemberontakan tingkat rendah mulai mendidih di wilayah yang kaya mineral tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa mahasiswa Papua, termasuk yang belajar di provinsi lain, makin lantang menuntut hak menentukan nasib sendiri atas wilayah mereka.