Suara.com -
Eks Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Rommy melayangkan eksepsi atau nota keberatan dalam sidang lanjutan kasus suap jual beli jabatan di Kemenag yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (23/9/2019) siang.
Di hadapan majelis hakim, Rommy menangggap penangkapan oleh KPK terbilang sangat politis. Sebab, dia mengaku statusnya saat itu hanya sebagai pimpinan partai bukan penyelenggara negara.
"Saya bukan penyelengara negara, penyebutan pekerjaan saya Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membenarkan dugaan penangkapan saya dan dugaan motif politik yang dibungkus penegakan hukum," kata Rommy.
Rommy menyebut penangkapan terhadap dirinya pada 15 Maret 2019 dilakukan hanya satu bulan sebelum pelaksanaan Pemilu 2019. Dia pun menyalahkan KPK lantaran suara PPP saat itu anjlok satu akibat penangkapan yang dilakukan jelang pemilu.
Baca Juga: Terdakwa Mencret, Hakim Tipikor Tunda Sidang Eksepsi Romahurmuziy
Dia pun mengklaim suara partai berlambang kakbah itu turun satu juta suara dibanding Pemilu 2014 silam.
"Penurunan lebih dari satu juta suara, Pileg 2014 PPP mengantungi 8,1 juta suara atau 6,53 persen dari suara sah nasional, kini pada Peleg 2019 hanya 6,3 juta atau 4,52 persen suara," ucap Rommy.
Rommy menambahkan penurunan suara ini diikuti anjloknya perolehan suara PPP di DPR, dari 39 kursi kini tinggal 19 kursi saja.
"Ini menjadikan PPP paling buncit dan nyaris tidak lolos ambang batas parlemen," kata Rommy.
Rommy pun menuding, perkara hukum yang menjeratnya bermuatan politik dibuat secara rapih dibungkus dengan aparat penegak hukum, yang membuatnya kini terjerat kasus korupsi.
Baca Juga: Ekspresi Romahurmuziy saat Jalani Sidang Perdana
"PPP terjerembab di Pileg. Anda (KPK) paling bertanggungjawab, anda (KPK) boleh mengatakan ini penegakan hukum, tapi hanya dilakukan sebulan sebelum Pileg maka itu jelas (politis) dibungkus penegakan hukum," tutup Rommy.