Suara.com - Suara kontra terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus digaungkan sejumlah pihak.
Salah satunya, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Ia tegas menolak RKUHP, saat diwawancarai di program Rosi yang ditayangkan KompasTV pada Kamis (19/9/2019).
Usman Hamid menyebutkan, jika nantinya RKUHP sudah disahkan, banyak kalangan yang sangat mudah terkena hukuman penjara.
"Pers dan warga, masyarakat, termasuk anak-anak muda yang aktif di media sosial, itu rentan dipenjara. Karena itu (RKUHP) harus ditolak," ujar Usman Hamid.
Baca Juga: Soroti RUU KUHP Perzinahan, Australia Ingatkan Warga yang Mau ke Indonesia
Alasan pertama yang ia sebutkan yakni, RKUHP dibuat secara terburu-buru tanpa melibatkan para ahli, yuris, maupun pendapat umum masyarakat.
Selain itu, menurut Usman Hamid, orang lemah, baik, ataupun kritis bisa dengan mudahnya dikriminalkan dengan RKUHP, yang sebaliknya justru melindungi orang-orang berada dan berkuasa, meski melakukan korupsi sekalipun.
"Saya akan buktikan itu. Yang pertama, mengkriminalisasi yang lemah, misalnya, orang-orang di jalanan, misalnya para pengamen, itu bisa dipidana. Gelandangan, sampai ke soal pengamen, termasuk juga perempuan kalau pulang malam. Rosi kan sering pulang malam nih?" tanya Usman Hamid.
"Banget," sahut presenter Rosianna Silalahi.
"Kalau ditemukan di jalan, Rosi sendirian, seperti bingung, 'kenapa malam ini kurang ramai ya?' Gitu misalnya. Itu bisa dianggap telantar dan kena sanksi, Rp1 juta. Kecil sih buat seorang Rosi, tetapi itu buat orang biasa..." lanjutnya.
Baca Juga: Segera Dilantik Jadi Anggota DPR, Krisdayanti Resah dengan Revisi KUHP
"Tetapi itu ditangkap, dipidana, malunya lho," sela Rosi.
"Dianggap kriminalnya itu kan? Seolah-olah, entah itu dianggap tidak bermoral dan seterusnya," lanjut Usman Hamid.
Tak hanya orang-orang yang bekerja malam, kata Usman Hamid, bahkan korban perkosaan bisa dijerat pasal pidana, terlebih jika ia menggugurkan kandungan yang tentunya bukan dari keinginannya sendiri, melainkan hasil pemerkosaan.
Usman Hamid pun menyimpulkan, perempuan, gelandangan, hingga difabel sangat rentan dipenjara.
Ia menambahkan, kritik dari masyarakat terhadap presiden juga sangat mudah dikriminalisasi dengan RKUHP, dan tak menutup kemungkinan bahwa pelakunya, termasuk para jurnalis, akan dijatuhi hukuman yang sangat berat.
"Bukan hanya tiga tahun setengah penjara, melainkan juga kalau itu dianggap makar, maksudnya dianggap mau membunuh presiden atau mengganti presiden. Itu bisa sampai hukuman mati. Bahkan pengaturnya, hanya ngatur, bisa saja sekadar rapat gitu, tapi kemudian bisa dipidana juga. Bahkan hukumannya bisa lebih berat," jelas sang pegiat HAM.
Contoh kasus lain yang ia beberkan soal pasal bermasalah RKUHP berkaitan dengan kohabitasi.
"Misalnya Rosi dengan saya pergi ke suatu daerah, kebetulan uang kita ketinggalan. Supaya hemat, kita tinggal di satu tempat saja. Karena kita laki dan perempuan, itu bisa dilaporkan oleh kepala desa bahwa kita telah melakukan tindakan yang melanggar hukum pidana. Jadi kepala desa menjadi polisi moral," terang Usman Hamid.
"Itu bahaya, dan banyak sekali orang-orang yang akan dipenjara, sementara di sisi lain, orang-orang yang secara melawan hukum, menyalahgunakan jabatan, memperkaya diri sendiri, dari semula hukumannya empat tahun, sekarang menjadi dua tahun," imbuhnya.
"Jadi justru untuk para koruptor, hukumannya malah diperingan, berbeda dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," timpal Rosi.
"Persis. Ada banyak lagi yang bisa saya sebutkan, misalnya soal pemikiran," kata Usman Hamid, menambahkan contoh cacat lain RKUHP.
"Kalau kita punya pemikiran yang kekiri-kirian, Marxisme, Leninisme, Mao Zedong gitu, itu semuanya dianggap anti-Pancasila dan bisa dipidana. Padahal, gagasan Pancasila, sila kelima misalnya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu gagasan Marxist sebenarnya," jelas Usman Hamid.