Suara.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengkritisi klaim pemerintah dan DPR yang mengatakan RUU KUHP sebagai upaya dekolonialiasi atas KUHP warisan Belanda.
Menurutnya, hal tersebut tak sepenuhnya mencerminkan perkataan pemerintah dan DPR.
Asfinawati mengemukakan sejumlah pasal yang terdapat dalam KUHP versi kolonial justru dimuat lagi dalam RUU KUHP yang rencananya bakal disahkan DPR pekan depan.
Satu pasal yang disoroti Asfinawati, misalnya tentang aturan mengenai unggas yang dimuat dalam Bagian Ketujuh Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan Pasal 278 RUU KUHP.
Baca Juga: RUU KUHP Ditunda, Andi Arief Usul Jokowi Hapus Pasal-pasal Karet
"Yang kedua soal unggas. Betul dia ada di undang-undang yang lama, karena itu pertanyaan saya ini mau mengikuti semangat kolonial atau tidak? Kan tadi argumennya begitu. Kalau semangatmya untuk menghilangkan kolonialisme tapi masih mengambil pasal-pasal kolonial ya apa bedanya itu maksud saya," ujar Asfinawati dalam diskusi publik di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9/2019).
Untuk itu kata dia, dicomotnya kembali aturan-aturan peninggalan Belanda menandakan argumen upaya dekolonialisasi sudah gugur. Ia berharap pemerintah maupun anggota dewan tak lagi membodohi rakyat dengan argumentasi tersebut
"Tesis mau mengganti produk kolonial ada di mana-mana, dan menjadi justifikasi mengganti KUHP dan itu yang dikatakan pemerintah dan DPR. Kalau ternyata apa-apa yang di dalam kitab undang-undang kolonial itu masih kita gabungkan, maka tesis itu sudah gugur di depan publik. Dan, jangan kita membodohi publik karena sebagian besar draf yang ada di KUHP lama, masih dimasukkan ke RKUHP kemarin," kata Asifnawati.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut aturan ihwal pasal unggas sudah terdapat dalam KUHP dan kemudian masuk dalam RUU KUHP. Hal itu, dikatakannya usai pasal tersebut menjadi sorotan. Ia kemudian menjelaskan mengapa pasal unggas kembali dimuat.
"Jadi setiap orang yang membiarkan unggas atau ternaknya berjalan di kebun justru akan ancaman hukumannya menjadi kategori dua yang menjadi lebih ringan dari pada KUHP," ujar Yasonna di Kemenkumham, Jakarta Selatan, Jumat (20/9/2019).
Baca Juga: Usul Jokowi Tunda Pengesahan RUU KUHP, Gerindra - PDIP Kompak Mendukung
"Mengapa ini masih diatur ? Kita ini masih banyak desa, masyarakat kita masih banyak yang agraris yang petani, masyarakat yang membuatkan sawah dan lain-lain, ada yang usil, dia enggak pidana badan, dia hanya denda dan itu ada KUHP dan di KUHP itu lebih berat sanksinya, kita buat lebih rendah, jadi jangan dikatakan mengkriminalisasi," tuturnya.