Menteri Yasonna: KUHP Atur Pejabat Negara Korup Dihukum Berat

Sabtu, 21 September 2019 | 04:55 WIB
Menteri Yasonna: KUHP Atur Pejabat Negara Korup Dihukum Berat
Tahanan KPK memakai borgol saat menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (2/1). [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengaku bahwa memasukkan sejumlah perbuatan tindak pidana korupsi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bertujuan agar dapat menghukum penyelenggara negara lebih berat.

"Mengenai pasal tipikor (tindak pidana korupsi) dalam KUHP seharusnya agar ancaman bagi penyelenggara negara lebih berat," kata Yasonna di gedung Kemenkumham Jakarta, Jumat (21/9/2019).

Yasonna menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers yang juga dihadiri oleh Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP Muladi dan tim.

Dalam draf revisi KUHP pasal pasal 602 menyebutkan, "Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI."

Baca Juga: Jokowi: Saya Masih Fokus RUU KUHP, yang Lain Menyusul

"Ketentuan ini merupakan sinkronisasi antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yang mengancamkan untuk setiap orang lebih tinggi dari ancaman minimum khusus bagi penyelenggara negara, karena pasal 2 UU Tipikor mencantumkan ancaman minimum khusus paling rendah 4 tahun, sedangkan untuk penyelenggara negara dalam Pasal 3 mencantumkan minimum khusus paling rendah 1 tahun," katanya. 

Artinya KUHP ditujukan untuk melindungi pelaku yang tidak memiliki peran besar dalam tindak pidana korupsi.

"Kalau di UU Tipikor yang lama dia pejabat negara ancaman hukumannya minimum satu tahun, kalau bukan pejabat negara. Justru kita naikin, tetapi orang yang tidak pejabat negara karena sama dengan dokter kalau dia menyalahgunakan bisa ditambah hukumannya sepertiga kan begitu," kata dia.

"Jadi melindungi pelaku yang tidak memiliki peran besar dalam tindak pidana korupsi dan memberikan ancaman hukuman lebih berat kepada pelaku yang memegang peran dalam pelaksanaan korupsi."

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta adanya penundaan pengesahan RKUHP karena masih ada sekitar 14 pasal yang harus ditinjau ulang dan berharap pengesahan RKUHP itu dilakukan DPR periode 2019-2024.

Baca Juga: RUU KUHP: Pelaku Makar dan Separatis Bisa Dihukum Mati

Presiden juga meminta Yasonna untuk menambah masukan dan mengumpulkan usulan dari masyarakat. Revisi KUHP dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi dimulai sejak Presiden mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP pada 5 Juni 2015 namun selalu tertunda.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI