Sementara itu, terkait kunjungan Komisioner HAM PBB ke Papua, seperti yang disayangkan Vanuatu, ia menjelaskan, Pemerintah RI telah mengundangnya untuk berkunjung ke Papua pada Februari 2018.
"Tapi karena jadwalnya yang padat, Komisioner HAM PBB mendelegasikan penjadwalan kunjungan itu ke kantor regional di Bangkok," ungkap Andreano.
"Kami saat ini bekerja sama dengan kantor regional Dewan HAM PBB itu untuk menyiapkan kunjungan Komisioner HAM PBB ke Papua," katanya lagi.
Tak hanya kerusuhan Papua, secara terpisah, Veronica Koman juga sempat disinggung dalam sidang Dewan HAM PBB oleh sejumlah LSM.
Baca Juga: Mahasiswa Papua di Surabaya: Bebaskan Veronica Koman Tanpa Syarat
Namun, berbeda dari pernyataan Andreano, kalangan LSM menyebutkan, situasi di Papua hingga saat ini masih sangat menegangkan.
Keterangan tersebut disampaikan melalui "oral intervention" (semacam pernyataan lisan) oleh Irene Valotti, yang berbicara atas nama LSM Franciscans International, Dewan Gereja-Gereja Dunia, Westpapua-Netzwerk, Koalisi Internasional untuk Papua, VIVAT International, Geneva for Human Rights - Global Training, serta LSM TAPOL.
"Sejak 9 Agustus 2019, aksi protes yang diwarnai kekerasan terjadi di berbagai wilayah Papua dan Papua Barat, yang dipicu oleh rekaman video aparat keamanan memaki mahasiswa Papua di Surabaya sebagai "monyet", "babi" dan "anjing"," kata Irene.
Dia pun menyayangkan tindakan Pemerintah Indonesia karena tak merespons insiden itu dengan dialog, melainkan malah menerjunkan lebih dari 6.000 pasukan, sehingga membuat situasi di wilayah itu makin panas.
"Kami menerima laporan adanya tiga orang warga Papua yang dibunuh di Jayapura, melibatkan milisi pro pemerintah Indonesia," ungkap Irene.
Baca Juga: Buntut Kasus Veronica Koman, Kompolnas Bakal Minta Klarifikasi 2 Jenderal
"Tindakan polisi di Kabupaten Deiyai mengakibatkan 8 warga Papua tewas," imbuhnya.