Suara.com - Kasus kerusuhan Papua, yang melibatkan nama aktivis Veronica Koman sebagai tersangka, disinggung dalam sidang reguler Dewan HAM PBB, yang sudah digelar di Jenewa, Swiss, sejak 9 hingga 27 September 2019 dan telah memasuki masa sidang ke-42.
Dari 47 negara dengan 63 pembicara di sidang reguler tersebut, pimpinan delegasi Vanuatu, Sumbue Antas, menyayangkan sikap Indonesia dalam menangani kasus Papua.
"Kami prihatin dengan sikap Indonesia, yang menunda jadwal dan waktu kunjungan Komisioner HAM PBB ke Papua," kata Sumbue dalam Sesi Debat sidang pada Selasa (17/9/2019).
"Kami juga sangat prihatin dengan pelanggaran HAM melalui penyensoran kebebasan berpendapat dan berkumpul serta diskriminasi rasial terhadap orang Papua melanesia," imbuhnya, berbicara atas nama Vanuatu dan Solomon Islands, seperti dikutip dari ABC Indonesia.
Baca Juga: Mahasiswa Papua di Surabaya: Bebaskan Veronica Koman Tanpa Syarat
Forum pemimpin negara-negara Pasifik, kata Sumbue, juga mendorong Komnas HAM Indonesia supaya segera berkunjung ke Papua dan melaporkan bukti-bukti dari lapangan sebelum Forum Pasifik 2020 digelar.
Pimpinan delegasi Indonesia Andreano Erwin lantas menanggapi pernyataan Sumbue, dengan mengatakan bahwa situasi di Papua dan Papua Barat sudah berangsur kondusif.
"Semua langkah-langkah yang diperlukan telah dilakukan dalam menyelesaikan insiden di Malang dan Surabaya," terang Andreano.
"Pemerintah dan rakyat Indonesia telah dan akan terus memberantas rasisme dan diskriminasi, bukan hanya melalui penegakan hukum tapi juga melalui pendidikan," tambahnya.
Ia juga menerangkan soal pembatasan data internet, yang menurut keterangannya telah dicabut pada Rabu (4/9/2019) karena situasi telah kondusif.
Baca Juga: Buntut Kasus Veronica Koman, Kompolnas Bakal Minta Klarifikasi 2 Jenderal
"Pembatasan internet dilakukan untuk mencegah penyebaran berita bohong. Keputusan ini tidak secara khusus dilakukan di Papua saja. Tapi diterapkan juga ketika terjadi kerusuhan di Jakarta pada Mei lalu," tutur Andreano.