Suara.com - Ibadah syukuran kepulangan alias eksodus mahasiswa Papua dari kota studi di luar daerah setelah persekusi rasis, yang digelar di Mimika, dilarang serta dibubarkan oleh aparat kepolisian setempat.
Ketua Departemen Keadilan dan Perdamaian Koordinator Puncak Selatan dari Gereja KINGMI di Tanah Papua, Pendeta Deserius Adii, memprotes pembubaran oleh Polres Mimika tersebut.
Ia mengatakan, pelarangan ibadah syukuran di Timika, Kabupaten Mimika, Kamis (19/9) itu, merupakan pelarangan ibadah kedua setelah pelarangan ibadah serupa, 31 Desember 2018.
Pendeta Deserius Adii menyatakan, pelarangan ibadah syukuran kepulangan para mahasiswa Papua dari berbagai kota studi di luar Papua itu terjadi pada Kamis pukul 12.00 Waktu Papua.
Baca Juga: Cari Pesawat Hilang di Papua, Tim SAR Gabungan Terkendala Cuaca Buruk
Saat itu, para mahasiswa telah berkumpul dan siap memulai ibadah yang akan dilanjutkan dengan makan bersama. Namun, aparat Polres Mimika melarang mereka melanjutkan acara itu.
“Kami sayangkan tindakan aparat kepolisian Mimika. Karena ibadah itukan tidak bisa diganggu-gugat oleh siapa pun. Baik penjahat, komunis, siapa pun, mau ibadah tidak bisa dilarang,” katanya kepada Jubi.co.id.
Deserius Adii mengatakan, polisi memakai dalil keamanan untuk membubarkan ibadah itu.
“Polisi mengatakan bahwa tidak [boleh] ada kegiatan mobilisasi massa di Timika. Mereka menuding aksi ini diboncengi oleh Komite Nasional Papua Barat, United Liberation Movement for West Papua, dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. [Dengan alasan itu] mereka membubarkan rencana ibadah bersama orangtua mahasiswa dan para mahasiswa/pelajar yang melakukan eksodus dari luar Papua,” katanya.
Adii menyatakan pelarangan ibadah pada Kamis itu merupakan pelarangan ibadah kali kedua sejak 31 Desember 2018.
Baca Juga: Baku Tembak Aparat dengan Kelompok Bersenjata di Papua, 7 Warga Jadi Korban
“[Sudah dua kali] polisi yang dipimpin Kepala Polres Mimika AKBP Agung Marlianto melarang beribadah. Pertama, pada tanggal 31 Desember 2018, saat perayaan hari ulang tahun Komite Nasional Papua Barat. Kali ini [polisi melarang] ibadah syukuran mahasiswa Papua yang melakukan eksodus dari Pulau Jawa dan Bali,” katanya.
Adii menyebut polisi telah melanggar hak warga negara untuk beribadah. “Siapa yang berwenang melarang? Itu hak setiap warga Negara untuk duduk dan melakukan ibadah. Aparat kepolisian sudah melanggar hukum, [melanggar hak] setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing masing,” katanya.
Adii menyatakan, kalau Polri mau bersikap adil, seharusnya mereka menangkap semua pelaku persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya.
Adii meminta polisi berhenti mengalihkan isu kasus tindakan rasisme terhadap orang Papua menjadi masalah keamanan di Papua.
“Setop pengalihan isu dari isu rasisme ke kriminalisasi. Polisi selalu membenarkan diri. Mereka tidak melihat bahwa kegitan ini benar-benar dibuat oleh mahasiswa Papua yang eksodus dari Jawa dan Bali, tidak ada dari yang lain-lain,” katanya.
Kapolres Mimika Ajun Komisaris Besar Agung Marlianto mengatakan, pihaknya tidak mengeluarkan izin terkait kegiatan itu. “Namun panitia bersikeras melaksanakan kegiatan itu,” kata Agung Marlianto.
Menurutnya, masyarakat sempat melempari aparat keamanan saat pembubaran sehingga polisi mengeluarkan tembakan peringatan ke udara menggunakan peluru hampa dan peluru karet. “Sebanyak 13 orang kami amankan [tangkap], termasuk panitia, untuk dimintakan keterangan,” kata dia.