Ilmuwan: Polemik RUU KPK Harus jadi Catatan Bersama

Kamis, 19 September 2019 | 04:00 WIB
Ilmuwan: Polemik RUU KPK Harus jadi Catatan Bersama
Suasana bangku kosong saat Rapat Paripurna Pengesahan RUU KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9). Meski Pimpinan Sidang mengklaim ada 289 dari 560 anggota DPR yang sudah menandatangani daftar hadir, namun hanya 80 anggota yang hadir dalam Rapat Paripurna tersebut. [Suara.com/Arya Manggala]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Manunggal Kusuma Wardaya mengatakan polemik revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK harus menjadi catatan bersama.

"Persoalan mendasar dari semua pro kontra ini dalam amatan saya adalah persoalan integritas dan kepercayaan publik. Ini harus jadi catatan bersama," katanya di Purwokerto, Rabu (18/9/2019).

Pengajar hukum hak asasi manusia itu juga menam bahwa revisi UU KPK bisa jadi dilatarbelakangi keinginan untuk membuat KPK tetap kuat namun tetap akuntabel.

"Kalau kita mencoba melihat revisi UU KPK secara positif, maka terlihat ada keinginan untuk membuat KPK tetap kuat namun pula tetap akuntabel," katanya.

Baca Juga: Menpora Nahrawi Tersangka, Adik Kandung: KPK Bobrok, Lembaga Zalim!

Salah satu pendiri Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia itu mengatakan kekhawatiran banyak pihak bahwa KPK dilemahkan memang memiliki dasar argumen.

"Kekhawatiran banyak pihak bahwa KPK dilemahkan memang memiliki dasar argumen, dan sebaliknya, keinginan untuk membuat KPK lebih profesional juga tentu saja berdasarkan pada catatan yang ada, semisal persoalan etik," katanya.

Sementara itu, Rapat Paripurna DPR RI ke-9 Masa Persidangan I periode 2019-2020 yang hanya dihadiri puluhan anggota dewan telah menyetujui mengesahkan Revisi UU KPK menjadi undang-undang.

Beberapa materi pokok revisi UU KPK antara lain penyadapan melalui izin Dewan Pengawas KPK, penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun, status kepegawaian KPK sebagai ASN, dan pembentukan dewan pengawas yang diusulkan presiden dan dipilih DPR.

Dalam UU KPK yang sudah diubah itu, di pasal 37A disebutkan dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, maka dibentuk Dewan Pengawas yang merupakan lembaga nonstruktural.

Baca Juga: Suap Rp 26,5 Miliar, Menpora ke KPK: Jangan Tuduh Orang Sebelum Ada Bukti!

Sampai Juni 2019, kasus korupsi melibatkan anggota DPRD atau DPR masih paling dominan.

Rinciannya 255 kasus melibatkan anggota DPRD di semua tingkat dan DPR yang ditangani KPK, 130 perkara melibatkan kepala daerah, enam pemimpin partai politik, 27 kepala lembaga atau kementerian dan terkini Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, menjadi tersangka kasus suap dana hibah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI