Suara.com - Koordinator KontraS Yati Andriyani menilai bahwa kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla yang terjadi di wilayah Kalimantan telah mengikis hak masyarakat setempat untuk menjalankan kehidupannya dengan baik.
Keterlibatan sejumlah korporasi dan juga pelanggaran HAM bisa dibawa oleh pegiat lingkungan hidup Indonesia hingga ke meja Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) kalau pemerintah tidak merespon desakan demi desakan untuk menghentikan dan juga membuka bobroknya korporasi yang telah merusak lingkungan.
Yati menjelaskan bahwa apa yang dilakukan korporasi dan juga sejumlah HAM yang terenggut bisa disebut sebagai kejahatan lingkungan atau ekosida. Bahkan masalah ini berjalan sudah begitu lama.
"Ini persoalan luar biasa, kalau dalam perspektif lingkungan ini kejahatan lingkungan (ekosida). Ini terjadi kalau ditarik lebih jauh dari 1997 malah," kata Yati di Kantor Walhi, Jalan Tegal Parang, Jakarta Selatan, Senin (16/9/2019).
Baca Juga: Tak Cuma Manusia, Orangutan di Kalteng Ikut Terserang ISPA Akibat Karhutla
"Kalau tidak direspons, kami bisa saja melakukan pelaporan, ke PBB dan atas isu pelaku bisnis dan HAM," Yati menegaskan.
Ia menerangkan bahwa karhutla yang terjadi bukan hanya berdampak kepada ekosistem. Namun juga kepada manusia yang hak-haknya mulai hilang akibat adanya kabut asap.
"Ini banyak hak yang terampas, hak untuk mendapatkan pemulihan, bergerak bebas. Bahkan hak untuk mendapat pendidikan," katanya.
Ia melihat pemerintah justru tidak bertanggung jawab dengan apa yang terjadi dari karhutla. Belum lagi mekanisme hukum bagi para korporasi yang ketahuan membakar gambut dan lahan untuk dijadikan tempat usaha pun dinilai belum jelas.
"Sampai sekarang kita tidak mendengar perusahaan mana saja, berapa jumlahnya. Itu saja ditutup bagaimana mau minta pertanggungjawaban," tandasnya.
Baca Juga: Jokowi soal Karhutla: Kita Lalai Sehingga Asapnya jadi Membesar