Suara.com - Kontroversi ilustrasi halaman muka Majalah Tempo masih santer diperbincangkan, hingga melibatkan komentar dari seorang pengamat politik Asia Tenggara, Aaron Connelly.
Dalam tanggapannya di Twitter, Aaron Connely menyampaikan sindiran yang berhubungan dengan revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Respons tersebut ia tuliskan untuk menanggapi komentar positif dari Rais Syuriah PCNU Australia Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir, terhadap gambar Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang bayangannya, oleh Majalah Tempo, dibuat berhidung panjang seperti boneka kayu Pinokio ketika berbohong.
Saat warganet berkelompok menjadi dua kubu--mendukung atau mengkritik Majalah Tempo -- GusNadir justru memuji media yang bersangkutan tanpa mencela Jokowi.
Baca Juga: Jokowi Sebut Pemerintah Sedang Bertarung Perjuangkan Substansi RUU KPK
"Cover majalah Tempo ini artistik. Yang hidungnya panjang kayak Pinokio adalah bayangan Jokowi, bukan gambar Jokowi-nya. Ada message yang kuat, tanpa melecehkan. Saya yakin Pak @jokowi tidak perlu tersinggung. Kritikan yang artistik dan argumentatif itu perlu dalam demokrasi," cuitnya, Minggu (15/9/2019).
Aaron Connelly kemudian merespons komentar tersebut dengan sindiran terhadap RUU KUHP, yang kini juga ramai diperdebatkan karena dinilai akan mematikan demokrasi Indonesia.
Menurut komentar Aaron Connelly, sampul majalah dengan kritik pedas seperti yang dibuat Majalah Tempo tak akan ada lagi jika pada nantinya RUU KUHP telah disahkan.
"Namun berdasarkan pasal 218-220 dari RUU KUHP, yang dijadwalkan akan disahkan pada sidang paripurna DPR berikutnya, sampul majalah seperti ini dapat dihukum dengan tiga setengah tahun penjara," kicaunya.
Rumusan RUU KUHP dinilai Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memuat pasal-pasal yang bisa membawa Indonesia kembali pada kolonialisme atau bahkan lebih buruk lagi.
Baca Juga: Sangkal Isu Taliban di Dalam KPK, Agus Rahardjo: Silakan Diteliti
Salah satunya, terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang pemidanaan atas tuduhan penghinaan presiden.
Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu menuturkan, pada draf RUU KUHP versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana penghinaan presiden, berganti menjadi "Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden" dalam Pasal 218-220 RKUHP.
Erasmus menilai, pasal penghinaan terhadap presiden merupakan kemunduran dalam demokrasi di Indonesia dan para perumus RUU KUHP tak memahami konsep reformasi hukum pidana.