Suara.com - Calon petahana pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Alexander Marwata, mengungkapkan kinerja kolegial KPK 2015-2019 terkadang tidak kompak dalam menentukan seseorang sebagai tersangka.
Hal itu diungkapkan Alexander dalam uji kepatutan dan kelayakan kepada Komisi III DPR RI, Kamis (12/9/2019).
Alexander menyampaikan, terkadang lima pimpinan KPK tidak satu suara dalam mengambil keputusan seperti saat penetapan seorang tersangka.
Pada akhirnya, keputusan diambil dengan cara pengambilan suara terbanyak atau voting.
Baca Juga: Capim KPK Nawawi Setuju Tersangka Korupsi Bisa Di-SP3
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Mulyadi mengaku heran dan menyebut proses voting itu berbahaya karena tidak mengacu pada hukum.
"Bagi kami tidak logis menjadikan seseorang sebagai tersangka melalui proses voting, bukan mengacu pada alat bukti atau fakta hukum, kalau ini terjadi, berbahaya sekali," kata Mulyadi dalam fit and proper test di Komisi III DPR RI, Kamis (12/9/2019).
Alexander menanggapi bahwa proses voting itu dilakukan setelah melalui proses diskusi panjang dan jika tidak menemui titik tengah di antara kelima pimpinan KPK. Jadi, bukan langsung dilakukan voting.
Selama menjadi pimpinan KPK dari 2015 hingga saat ini, Alexander mengaku baru 3 kali memberikan catatan khusus pada voting.
"Terkait dengan voting penetapan tersangka itu tidak banyak pak, saya mungkin tidak lebih dari 3 kali bikin catatan khusus. Kenapa? Karena saya belum yakin bahwa alat buktinya cukup," kata Alexander.
Baca Juga: Nama-nama 5 Capim KPK di Uji Kelayakan Hari Pertama
Menurutnya, penetapan tersangka via voting ini tetap ditandatangani oleh seluruh pimpinan KPK meskipun akan diberikan catatan tersendiri.