Suara.com - Aksi unjuk rasa Hong Kong telah masuk sampai ke stadion. Momen itu terlihat saat pertandingan sepak bola antara Iran vs China pada Selasa (10/9/2019).
Ketika itu kedua timnas bertanding untuk laga kualifikasi Piala Dunia 2022 di Stadion Hong Kong.
Sebelum pertandingan dimulai, banyak penonton menyorakkan cemoohan saat diputar lagu kebangsaan China.
Mereka membuat suara lagu kebangsaan China tenggelam, teredam nyanyian mereka, "Glory to Hong Kong", lagu wajib gerakan protes.
Baca Juga: Menlu: Tak Ada WNI Jadi Korban Demonstrasi di Hong Kong
Terdengar sampai ke luar stadion, sorakan itu berisi "pesan" yang jelas untuk Beijing bahwa para demonstran tak mau menjadi bagian dari China di masa depan, seperti dilaporkan wartawan BBC Nick Beake, yang berada di lokasi pertandingan.
Mengutip BBC.com, "Glory to Hong Kong" ditulis oleh seorang musikus lokal sebagai lagu wajib bagi para pengunjuk rasa.
Beberapa penggal liriknya berbunyi, "Apakah kalian merasakan kemarahan dalam tangisan kami? Bangun dan angkat bicara" dan "bertahanlah, karena kita adalah satu."
Lagu itu juga mereka nyanyikan di mal-mal atau pusat perbelanjaan di seluruh Hong Kong, biasanya sambil mengenakan pakaian serba hitam.
Sebelumnya, Pimpinan Hong Kong Carrie Lam mengumumkan konsesi pekan ini dengan tujuan menghentikan segala aksi protes yang berlangsung, termasuk dengan mencabut RUU Ekstradisi, yang banyak ditentang dan menyebabkan ketegangan sejak Juni lalu.
Baca Juga: Para Demonstran Minta Donald Trump 'Bebaskan' Hong Kong dari China
Namun, banyak peserta aksi unjuk rasa yang menganggap keputusan tersebut terlalu terlambat.
Hong Kong, yang merupakan bekas koloni Inggris, kembali ke China pada tahun 1997 di bawah kebijakan "satu negara, dua sistem", yang menjamin kebebasan yang tak berlaku di daratan China. Banyak warga Hong Kong khawatir, Beijing akan mengikis otonomi itu.
China kemudian membantah tuduhan telah ikut campur dan mengatakan, persoalan Hong Kong adalah urusan internal. Mereka mengecam aksi protes itu dan memperingatkan dampak buruknya bagi perekonomian, serta mereka juga menuduh Amerika Serikat dan Inggris mengobarkan kerusuhan.