Menkumham Yasonna Laoly Resmi Dikukuhkan Jadi Guru Besar PTIK

Rabu, 11 September 2019 | 09:37 WIB
Menkumham Yasonna Laoly Resmi Dikukuhkan Jadi Guru Besar PTIK
Menkumham Yasonna Laoly dikukuhkan jadi Guru Besar PTIK, Rabu (11/9/2019). (Suara.com/Stephanus Aranditio)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Krimonologi di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian pada Rabu (11/9/2019). Pengukuhan ini didasarkan Surat Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 25458/M/KP/2019 tanggal 11 Juli 2019.

Sidang Pengukuhan Yasonna dipimpin langsung oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.

Dalam pidatonya, Yasonna mengenang peristiwa tragedi serangan teror 11 September 2001 di dua menara kembar World Trade Center (WTC), New York, Amerika Serikat.

Dia berharap kedamaian terus terbangun di antara bangsa-bangsa di dunia dengan saling bekerjasama satu sama lain antar negara.

Baca Juga: Menkumham soal Dewan Pengawas KPK: Institusi Harus Ada Check and Balances

“Tidak bisa, masing-masing negara, di era yang sudah mengglobal ini, bertindak sendiri-sendiri. Butuh kerja bersama dari seluruh negara untuk memberantas kejahatan yang sudah melintasi batas negara (transnational crimes). Jangan sampai, tragedi besar “Nine Eleven” (9/11 atau 11 September) yang memilukan itu muncul kembali dalam bentuk kejahatan lain," kata Yasonna di Auditorium Mutiara, PTIK, Jakarta Selatan, Rabu (11/9/2019).

Yasonna juga menyerukan orasi ilmiah berjudul "Dampak Cyber Bullying dalam Kampanye Pemilu terhadap Masa Depan Demokrasi di Era 5.0”.

Ia menyampaikan bahwa fenomena cyber bullying atau perisakan di dunia maya yang awalnya dianggap hanya mengganggu kesehatan jiwa remaja dan menjadi perhatian psikolog, ternyata berubah menjadi cyber victimization yang perlu perhatian kriminolog, peneliti dan ilmuwan sosial.

"Sebab, menggejalanya cyber bullying dan cyber victimization ini telah menghadirkan malapetaka sosial, yakni terciptanya polarisasi yang keras di tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena diabaikannya sisi positif dari internet, khususnya media sosial, untuk mengkampanyekan segi-segi terbaik dari praktik berdemokrasi di era digital democracy, malahan justru menggunakannya untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri," papar Yasonna.

Dia menilai terbatasnya teori-teori kriminologi dan hasil-hasil penelitian tentang cyber bullying dan cyber victimization terkait demokrasi menjadi tantangan bagi para kriminolog, peneliti dan ilmuwan sosial untuk menjelaskan secara ilmiah.

Baca Juga: Jokowi dan Menkumham Belum Bisa Bersikap soal RUU KPK, Masih Dibaca

"Kita harus memberikan perhatian yang khusus dan melakukan penelitian lanjutan. Kita perlu melakukan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak untuk memberikan hukuman, tetapi utamanya untuk memberikan pedoman dalam penggunaan sarana internet, dan mencegah terjadinya cyber bullying, cyber crime dan cyber victimization," imbuh Yasonna.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI