Suara.com - Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kekinian menjadi polemik yang ramai dibincangkan. Sejumlah pihak menilai jika revisi UU KPK tersebut bakal melemahkan lembaga antirasuah.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Gita Putri Damayana, berpendapat Revisi UU KPK itu melanggar prosedur. Oleh karena itu, ia meminta pada Presiden Joko Widodo untuk tidak menerbitkan Surat Presiden atas revisi Undang-Undang yang tengah digodok DPR tersebut.
"Pertama melanggar UU nomor 12 tahun 2011 tentang peraturan pembuatan ruu yang menyebutkan, sebuah UU harus melewati program legislasi nasional (prolegnas)," ujar Gita di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (8/9/2019).
Gita menuturkan, jika merujuk ke Undang-Undang Nomor 12, usulan revisi harus masuk dalam prolegnas tahunan. Sementara, revisi UU KPK yang kekinian diusulkan tidak melalui mekanisme tersebut.
Baca Juga: Sudah Ada Audit Internal, Pimpinan KPK Tolak Pembentukan Dewan Pengawas
"Di prolegnas tahun 2015-2019 (revisi UU KPK) memang ada. Prolegnas kan ada dua, yang lima tahunan dan tahunan. Ini yang di tahunan enggak ada. Kalau misalnya mau diusulkan ada revisi, harus melalui perubahan prolegnas dulu. Itu kan tidak dilakukan, tapi langsung ke paripurna," kata dia.
Menurut Gita, DPR telah melanggar tata tertibnya sendiri terkait revisi Undang-Undang KPK.
"Dan ketika mau ada usulan naskah perubahan, prosedurnya tidak seperti sekarang. Kalau sekarang kan langsung ke paripurna, sementara seharusnya melalui perubahan prolegnas dulu," ujar dia.
Untuk itu Gita meminta pada Jokowi untuk menolak revisi Undang-Undang KPK. Selain itu, Jokowi seharusnya mempertanyakan proses pengajuan naskah revisi Undang-Undang KPK.
Baca Juga: Saut Simorang Minta Pimpinan KPK Ditentukan Langsung Oleh Presiden
"Jadi menurut kami, Presiden narasinya bukan saya belum membaca naskah revisi, tapi seharusnya Presiden mempertanyakan dulu bagaimana proses pengajuan naskah revisi UU tersebut," tutup Gita.