Suara.com - Mobil hitam Marcellina Laurensia terguncang di salah satu jalan di Papua Barat, tepatnya di Jalan Trans Papua Barat antara Manokwari - Bintuni. Marcellina tetiba membuka matanya dan terkejut sampai mengubah posisi duduknya.
Jalan Trans Papua Barat yang dia lihat ternyata dipenuhi lumpur. Padahal di sana tengah dibangun proyek Trans Papua Barat. Kejadian pada 17 Oktober 2018 itu diceritakan Marcellina dalam sebuah buku 'Bukan Remahan Rengginang: Kisah Orang Muda di Istana'. Marcellina merupakan lulusan Desain Komunikasi Visual di Universitas Telkom Bandung.
Buku itu berisi lebih dari 30 Staf Khusus Kepresidenan menceritakan sisi lain di balik berbagai tugas menjadi seorang staf dari Kantor Staf Kepresidenan yang dipimpin Moeldoko.
Kepala Balai Pelaksana Jalan XVII Monokwari, Yohanis Tulak Tordingrara memberi tahu Marcellina jika jalan yang dilewati itu sebelumnya mulus. Tapi jalan rusak parah karena dilewati kendaraan besar pengangkut kayu. Sehingga jalan yang sudah diratakan, jadi rusak.
Baca Juga: Lukas Enembe: Jalan Trans Papua Bukan untuk Orang Papua
Kedatangan Marcellina ke Papua untuk mencari solusi percepatan proyek Jalan Trans Papua. Ke Papua, Marcellina ditemani dua orang rekannya. Mereka adalah Kordinator Tim Infrastruktur KSP Febry Calvin Tetepta dan Muhammad Gibra.
Mereka memiliki misinya untuk membuat kesepakatan bersama perusahaan angkutan kayu tidak mengoperasikan mobilnya di Jalan Trans Papua Barat yang tengah dibangun. Terutama akses untuk Trans Papua di Ruas Monokwari – Bintuni. Karena apabila truk pengangkut kayu log raksasa masih melintasi jalan Trans Papua sudah pasti aspal akan hancur karna kelebihan beban.
Melihat permasalahan ini Tim Kantor Staf Presiden termasuk Marcellina Laurensia pun memutuskan untuk bertemu dengan pemilik perusahaan kayu itu.
"Baiklah, besok kita temui orang perusahaan yang tak mau melepas akses logging itu," kata Febry.
Perjalanan panjang yang di berliku disertai hujan di tengah jalan yang berlumpur dari Kabupaten Teluk Bintuni menuju Monokwari, Papua Barat berhasil dilewati di temani Yohanis Tulak Tordingrara, Kepala Balai Pelaksana Jalan XVII Monokwari.
Baca Juga: Soal Trans Papua, Lukas Enembe: Kami Butuh Kehidupan, Bukan Pembangunan
Mereka pun bertemu dengan pihak perusahaan. Dalam pertemuan itu Tim KSP mendorong untuk terjalinnya kerja sama antara Balai Jalan dengan pemegang konsesi hutan agar pemerintah bisa melanjutkan pembangunan Trans Papua.
"Kali ini, kami menemui perusahaan konsensi hutan. Satu per satu mengutarakan keluh - kesah," cerita Marcellina.
Akhirnya November 2018, terjadi kesepakatan setelah melewati beberapa kali rapat akhirnya perusahaan kayu rela memindahkan jalan operasionalnya. Balai Jalan pun bersedia memberikan advis teknis desain konstruksi perlintasan jalan yang diusul oleh Perusahaan.
Trans Papua ini diperkirakan dapat di tempuh 5 - 6 jam dari Monokwari ke Bintuni. Sebelumnya biasa di tempuh 10 - 12 jam perjalanan saat kondisi jalan kering. Tarif operasional sekali jalan mencapai Rp 5 Juta per mobil pada saat hujan. Tapi kini masyarakat tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang besar.
“Peran saya hanya kecil saja, cuman mencatat masukan dari berbagai pihak dan ikut melancarkan rapat-rapat,” Kata Marcellina Laurensia. (Shifa Audia)