Abraham Samad Buka Suara, 6 Penyebab KPK Akan Mati Suri

Jum'at, 06 September 2019 | 13:28 WIB
Abraham Samad Buka Suara, 6 Penyebab KPK Akan Mati Suri
Mantan Ketua KPK Abraham Samad seusai bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Selasa (10/7/2018). Ia menegaskan siap menjadi cawapres Jokowi. [Suara.com/Erick Tanjung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Abraham Samad menolak UU KPK saat ini direvisi. Menurut dia dengan UU KPK direvisi, maka akan membuat KPK mati suri dan kehilangan 'gigi' dalam memberantas korupsi.

Samad melihat ada 6 hal krusial dari rencana revisi Undang-undang KPK itu. Pertama, KPK hendak dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan atau di bawah Presiden. Kedua terkait masalah penyadapan, revisi ini menghendaki penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK.

Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai hukum acara pidana. Keempat, setiap instansi, kementerian, lembaga wajib menyelenggarakan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebelum dan setelah berakhir masa jabatan. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja KPK," tuturnya.

Kelima, lanjut Samad, ada organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang ini dibantu oleh organ pelaksana pengawas. Keenam, revisi membolehkan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun," ujar dia.

Baca Juga: Sekjen PDIP: Revisi UU KPK untuk Perbaikan KPK

"Poin revisi pertama, kedua, kelima, dan keenam akan membuat KPK mati suri," kata Samad dalam siaran persnya, Jumat (6/9/2019).

"Mengapa? Pertama, jika KPK berada di bawah struktur kekuasaan eksekutif, maka status independen KPK otomatis hilang. Padahal independensi menjadi syarat kunci tegaknya sebuah badan/lembaga antikorupsi," lanjut Samad.

Ia mengatakan ketika KPK berada di bawah eksekutif, maka KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Pada situasi ini, kata dia, KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tindak pidana korupsi.

KPK juga akan berbenturan dengan Kejaksaan yang memang design konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam "perebutan pengaruh".

"Pada akhirnya, jenis kelamin KPK akan berubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, semata mengerjakan tugas pencegahan korupsi saja, tidak lebih," tuturnya.

Baca Juga: KPK Periksa Dirkeu PT INTI Kasus Suap Proyek Baggage Handling System AP II

Kedua, revisi hendak melumpuhkan sistem kolektif kolegial pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan dengan memperpanjang alur penyadapan dengan melibatkan izin Dewan Pengawas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI