Peneliti Hukum Sebut RUU KPK Dikebut DPR, Diduga Ada Pemufakatan Jahat

Kamis, 05 September 2019 | 18:00 WIB
Peneliti Hukum Sebut RUU KPK Dikebut DPR, Diduga Ada Pemufakatan Jahat
LSM Anti Mafia Hukum melakukan aksi damai menolak revisi RUU KPK di depan gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peneliti Hukum The Indonesian Institute Muhammad Aulia Y Guzasiah menanggapi rencana DPR yang kembali menyetujui Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (UU KPK).

Aulia menyatakan tak habis pikir dengan upaya demi upaya pelemahan yang datang bertubi-tubi menghujam komisi anti-rasuah.

Dia mengemukakan, pembahasan RUU KPK tersebut seolah menimbulkan dugaan dan prasangka akan adanya permufakatan jahat dan agenda mega korupsi yang akan dilakukan secara tersistematis kedepan.

"Pasalnya, di antara segala problematika masyarakat yang ada, seperti darurat penipuan dan penyalagunaan data pribadi, serta kian bertambahnya korban-korban pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, mengapa harus UU KPK yang mendapatkan suara bulat untuk segera dikebut pembahasan serta pengesahannya menjelang akhir September ini?" kata Aulia melalui keterangan tertulis, Kamis (5/9/2019).

Baca Juga: Respons soal RUU KPK, ICW: DPR Nyatanya Bekerja dalam Senyap

Dalam penilaian Aulia, ada beberapa poin dalam RUU KPK dianggap tak hanya lagi untuk melemahkan fungsi kerja KPK.

"Tidak lagi dapat dikatakan merupakan suatu bentuk upaya pelemahan, melainkan merupakan upaya pembunuhan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas, adanya poin kesepakatan untuk memasukkan kedudukan KPK berada di bawah cabang eksekutif," ujar Aulia.

Poin tersebut, kata Aulia, secara hukum ketatanegaraan dianggap bukan sebagai patokan merubah fungsi kerja KPK dalam RUU KPK tersebut.

"Terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, kesepakatan ini tentu tidak muncul dari kajian akademik yang mendalam. Sebab entah sudah berapa banyak lembar ilmiah yang dikeluarkan oleh sarjana hukum tata negara, bahwa kedudukan KPK itu merupakan Lembaga Negara Independen yang kedudukannya tidak dapat digolongkan begitu kedalam trias politica klasik," kata Aulia

Dia juga menambahkan kesepakatan ini, tidak dapat dilepaskan dari dugaan potensi penyalahpenggunaan hak angket demi menghambat agenda pemberantasan korupsi kedepan.

Baca Juga: Formappi: Anggota DPR Baru Harus Batalkan RUU KPK di Hari Pertama Kerja

Menanggapi hal ini, Aulia menyatakan bahwa Presiden sudah tidak lagi memiliki waktu dan alasan untuk terus berpangku tangan melihat penyembelihan kewenangan dan eksistensi KPK.

“Saya kira, saat ini diam tidak lagi bermakna emas. Presiden sudah harus bertindak dan bersuara, juga sembari segera meninjau kembali nama-nama capim yang akan segera diserahkan ke DPR. Langkah ini perlu ditempuh dan harus, jika masih menginginkan selamatnya masa depan Indonesia dan agenda pemberantasan korupsi” tutup Aulia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI