Suara.com - Mantan Ketua Umum Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menilai pengajuan revisi Undang-Undang Komisi Pemberatasann Korupsi (KPK) yang diajukan DPR RI saat ini sangat terburu-buru. Mereka seperti harus kejar setoran di akhir kepemimpinannya yang tidak lebih dari sebulan ini.
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara UII ini, dengan kinerja yang tinggal tiga minggu kedepan DPR RI periode 2014-2019, mereka sudah tidak efektif membuat kebijakan, termasuk melakukan revisi UU KPK. Revisi UU tersebut harus dibicarakan dengan lebih hati-hati dan jernih.
"Kan bulan depan sudah ganti, kurang tiga minggu saja sudah ganti DPR. Kalau (menurut) saya sih terlalu buru-buru, menunggu DPR baru," ungkap Mahfud disela menghadiri pemberian anugerah Doktor Honoris Causa (DR Hc) Sri Sultan HB X di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kamis (5/9/2019).
Pasal yang diusulkan untuk diubah pun, lanjut Mahfud harus dikomunikasikan dengan masyarakat. Baru kemudian masyarakat memberikan masukan kepada DPR RI.
Baca Juga: DPR Revisi UU KPK, Pimpinan Hingga Penyidik Bakal Diawasi
"Dalam proses legislasi kita di era reformasi ini peran masyarakat sangat penting, kalau dulu jaman orde baru kan dominasi pemerintah, begitu berita diumumkan, hanya basa-basi masyarakat. Sekarang kan masyarakt harus didengar apa maunya," tandasnya.
Belum mengetahui detil usulan revisi UU KPK, Mahfud tidak ingin mengomentari konten pasal yang akan diubah. Bisa saja melemahkan KPK atau justru sebaliknya bisa menguatkan lembaga negara tersebut.
"Semua tergantung materinya. Perubahan penting tapi juga harus didengar masyarakat, apakah (UU) melemahkan atau menguatkan," imbuhnya.
Sepuluh fraksi partai di DPR RI menyetujui usulan Badan Legislasi untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Persetujuan itu diajukan kesepuluh fraksi secara tertulis dalam sidang paripurna DPR RI, Kamis (5/9/2019).
Baca Juga: Tak Dibacakan saat Paripurna, 10 Fraksi DPR Setuju Revisi UU KPK
Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto yang memimpin sidang paripurna mengatakan, kesepuluh fraksi hanya menyerahkan persetujuan tertulis dan tidak dibacakan.
"Adapun pandangan fraksi tidak dibacakan dalam sidang paripurna," kata Utut, Kamis (5/9/2019).
Seusai sepuluh fraksi menyampaikan pandangan secara tertulis tentang revisi UU KPK, Utut meminta persetujuan seluruh peserta paripurna untuk mengesahkannya.
"Apakah RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui menjadi usul DPR RI?" ujar Utut kepada anggota dewan.
Pertanyaan Utut itu direspons dengan pernyataan setuju dari anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna.
"Setuju," sahut mereka.
Untuk diketahui, KPK mengakui tak dilibatkan oleh DPR RI dalam diskusi apakah UU tersebut pantas direvisi atau tidak. Kelompok pegiat antikorupsi juga mempertanyakan niat DPR untuk mervisi UU tersebut.
Setidaknya, ada 6 poin yang menjadi sorotan dalam usul revisi UU KPK itu. Pertama, Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan.
Meskipun KPK bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen.
Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara.
Kedua, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan penyadapan. Namun pelaksanaan penyadapat dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK.
Ketiga, KPK selaku lembaga penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia (integrated criminal justice system).
Oleh karena itu, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Keempat, dalam upaya meningkatkan kinerja KPK di bidang pencegahan tindak pidana korupsi, setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan setelah berakhir masa jabatan.
Kelima, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah 5 (lima) orang. Dewan Pengawas KPK tersebut, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh organisasi pelaksanaan pengawas.
Keenam, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik.
Penghentian penyidikan dan penuntutan dimaksud dapat dicabut apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan.
Kontributor : Putu Ayu Palupi