Selain itu Gobai meminta aparat keamanan tidak serta merta menyimpulkan pengunjukrasa anti rasisme di Kantor Bupati Deiyai adalah kelompok separatis.
Pengibaran bendera bintang kejora oleh para pengunjukrasa harus dilihat sebagai ekspresi politik yang dilakukan secara damai, dalam konteks kemarahan para pengunjukrasa atas kasus rasisme dan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 lalu.
“Masyarakat di Deiyai adalah korban dalam kekerasan aparat di Deiyai. Saya menilai seakan akan kasus pertikaian di antara kelompok warga di Kota Jayapura, Papua, seakan akan menutupi kasus penembakan di Deiyai, Puncak dan Nduga,” ujar Gobai.
Secara terpisah Direktur Eksekutif Lembaga, Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy mengatakan aparat keamanan Indonesia diduga keras telah melakukan tindak pelanggaran hak asasi manusia berat dalam insiden penembakan di Kantor Bupati Deiyai pada Rabu (28/8/2019). Hal itu dinyatakan Warinussy melalui siaran pers yang diterima Jubi pada Selasa (3/9/2019).
Baca Juga: Tangkapi Aktivis Papua, Wiranto: Ini Negara Hukum Bung
Warinussy menyatakan hasil investigasi SKP Dekanat Paniai Keuskupan Timika memunculkan dugaan bahwa aparat keamanan telah melakukan tidak kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Warinussy mendesak Komisi Nasional HAM segera melakukan penyelidikan terhadap kasus penembakan di Kantor Bupati Deiyai itu.