Suara.com - Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo merespons pernyataan Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu yang menyebut pengibaran bendera Bintang Kejora tak bisa disebut tindakan makar.
Terkait hal itu, Dedi pun mempertanyakan dasar dari pernyataan ICJR. Sebab dia menyebutkan, larangan pengibaran bendera Bintang Kejora telah di atur dalam undang-undang.
"Dia (ICJR) sudah baca undang-undang belum?" kata Dedi di Gedung Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (2/9/2019).
Dedi mengatakan bila memang Erasmus merasa keberatan atas tindakan aparat kepolisian yang menangkap delapan mahasiswa Papua dengan jeratan Pasal Makar terkait pengibaran bendera Bintang Kejora saat aksi demonstrasi di depan Istana Negara, Rabu (28/8) lalu dapat menempuh jalur hukum. Misalnya, melakukan praperadilan.
Baca Juga: Kibarkan Bendera Bintang Kejora Saat Aksi Depan Istana, 2 Orang Ditangkap
"Kalau dia keberatan, kan ada mekanisme praperadilan," ujarnya.
Untuk diketahui, berdasar Undang-Undang 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, menegaskan bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI. Oleh karenanya bendera Merah Putih dan Indonesia Raya berlaku juga bagi Papua sebagai bendera dan lagu Kebangsaan Indonesia. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1;
Pasal 2
(1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.
Selanjutnya, dalam ayat 2 dijelaskan; Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Baca Juga: Pengibaran Bendera Bintang Kejora Dibiarkan Agar Tak Lahirkan Perlawanan
Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Terkait lambang daerah dan simbol kultural Papua dalam bentuk bendera, diperbolehkan dikibarkan. Hanya, panji kebesaran yang dimaksud adalah yang sifatnya kultural daerah bukan dalam bentuk kedaulatan.
Pasal 1
h. Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Dalam perjalanan, di era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pengibaran bendera Bintang Kejora sempat diperbolehkan. Ketika itu, Gus Dur menilai bahwasanya bendera Bintang Kejora sebagai bendera kultural. Namun, Gus Dur mensyaratkan bendera Bintang Kejora tidak boleh dikibarkan lebih tinggi dari bendera NKRI sang Merah Putih.
Kemudian, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY aturan tersebut dicabut. SBY mengeluarkan PP No 77 Tahun 2007 tentang Lambang Negara.
Penjelasan hal tersebut tertuang dalam Pasal 6 Ayat 4;
(4) Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adapun terkait desain logo dan bendera organisasi terlarang secara eksplisit cantumkan dalam penjelasan Pasal 6 Ayat 4. Bendera bintang kejora dan logo burung mambruk bukan lambang daerah, melainkan lambang gerakan separatis di Provinsi Papua. Berikut penjelasan;
Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.