Suara.com - Direktur Program Institusi for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menilai tindakan aparat kepolisian yang menangkap delapan mahasiswa dan aktivis Papua atas tuduhan makar lantaran mengibarkan bendera Bintang Kejora merupakan hal yang keliru.
Erasmus mengatakan pengibaran bendera Bintang Kejora merupakan ekspresi kultural masyarakat Papua.
Menurut Erasmus, Polri harus bersikap proporsional dan komprehensif dalam menangani isu Papua.
Dia mengatakan, aksi demonstrasi yang terjadi belakangan ini sejatinya didasari atas masalah pelecehan dan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua yang lambat direspon oleh Pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Kantor Gubernur Papua Dijarah saat Kerusuhan, PNS Trauma
Selain itu, demonstrasi itu pun akibat belum adanya kejelasan mengenai penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di bumi Cendrawasih.
"Di lain sisi, bendera bintang kejora adalah simbol yang sudah menjadi kultur bagi masyarakat Papua, sehingga demonstrasi dengan menggunakan bendera Bintang Kejora adalah sebuah ekspresi kultural, sehingga tidak dapat dikatakan adanya makar," kata Erasmus lewat keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Senin (2/9/2019).
Erasmus menjelaskan diskusi, ekspresi atau pendapat politik tidak dapat dijerat dengan Pasal 106 KUHP tentang makar sebagaimana yang dituduhkan kepada delapan mahasiswa dan aktivis Papua.
Menurutnya, jika merujuk pada rumusan Pasal 87 KUHP, maka harus ada niat dan permulaan pelaksanaan untuk memisahkan sebagian wilayah Negara.
Selain itu, kata Erasmus, tindakan perubahan ketatanegaraan pun tidak dapat dijerat pasal makar, termasuk permintaan referendum. Sebab, kata dia, penuntutan atas hak untuk menentukan nasib sendiri bukan hal yang tidak pernah dilakukan di Indonesia, contohnya praktik ketatangeranaan dalam peristiwa referendum Timor Timur 1999.
Baca Juga: Sebut Ada Keterlibatan Asing di Kerusuhan Papua, Begini Penjelasan Polisi
"Proses referendum Timor-Timur mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional. Artinya, mengakui dan Indonesia pernah melakukan hak menentukan nasib sendiri sebagai praktik ketatanegaraan dalam arti umum," ujarnya.
Untuk itu, Erasmus pun meminta Polri agar berhati-hati dalam menggunakan pasal makar terhadap delapan mahasiswa dan aktivis Papua.
Di sisi lain, menurutnya Polri juga harus memberikan akses seluas-luasnya terhadap delapan mahasiswa dan aktivis Papua untuk mendapatkan bantuan dan pendampingan hukum dari pengacara.
"Mereka harus dilepaskan apabila tidak ada tindakan yang memang dapat dijerat dengan makar," katanya.