Suara.com - Lembaga Advokasi dan Hak Asasi Manusia Papua (IPHAR) mengecam serangan militer di Kabupaten Deiyai pada Rabu (28/8/2019).
Insiden tersebut membuat kondisi kian memburuk terlebih dengan kedatangan para pasukan keamanan yang terdiri dari TNI-Polri.
Mereka disebut memicu konflik dengan melontarkan yel-yel rasialis kepada para demonstran sebelum menembakkan gas air mata.
Pun saat penduduk setempat bereaksi dengan melepas busur dan anak panah, petugas keamanan membalas dengan tembakan hingga menelan korban jiwa.
Baca Juga: Kapolri: Prajurit TNI di Deiyai Gugur Saat Menjaga Senjata di Mobil
Untuk itu, IPHAR meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertindak tegas, menarik seluruh pasukan keamanan dari Papua Barat.
"Presiden Indonesia harus menarik munduk pasukan keamanan di Papua Barat. Mereka adalah pelaku yang memicu konflik saat aksi damai," ungkap Paula Makabory, juru bicara IPHAR.
Lebih lanjut Paula Makabory menyebut kekerasan yang terjadi di Deiyai merupakan kejahatan Genosida militer Indonesia terhadap etnis Papua.
Mereka ingin, warga Papua Barat segera memperoleh kemerdekaannya dan mendapat perlindungan pascaoperasi militer selama beberapa bulan terakhir.
"Masalah Papua Barat khususnya pegunungan Deiyai, Paniai, Pucak Jaya dan Nduga harus dibuka ke dunia luar untuk diinvestigasi oleh Komisaris HAM PBB," terang Paula Makabory.
Baca Juga: Kapolri Kirim Ratusan Pasukan ke Deiyai dan Paniai, Brimob ke Jayapura
Polemik Papua Barat nyatanya telah menjadi sorotan internasional. Dr Eben Kirksey, seorang profesor antropologi dari Deakin University, Melbourne mengklaim telah menemukan 29 kasus pembunuhan di Papua Barat yang melibatkan pasukan keamanan Indonesia selama dua dekade terakhir.
Oleh sebab itu, ia berharap pemeritah Indonesia memberikan kesempatan kepada PBB untuk mengatasi polemik yang ada.
"PBB telah meminta akses ke Papua Barat untuk menyelidiki sejarah panjang kasus pembunuhan dan pemerintah Indonesia harus memberikan akses," kata Dr. Kirksey.
Sebelumnya berdasarkan laporan telepon yang diterima IPHAR, ada 12 pesawat militer yang mendarat di bandara Enarotali dan Timika.
Mereka membawa pasukan keamanan yang kemudian disebar ke Kabupaten Deiyai selama aksi damai di kantor Bupati.
Demonstrasi yang semula damai, mendadak jadi ricuh saat pasukan memanggil demonstran Papua dengan sebutan 'monyet'.
Disebutkan, pasukan keamanan lalu menembakkan gas air mata yang disambut dengan busur dan anak panah dari warga setempat.
Dilaporkan media Reuters dan Aljazeera, akibat insiden tersebut enam orang warga sipil meninggal dunia. Salah satu di antaranya Alpius Pigai (20) yang di tembak mati.
Sementara korban lainnya terdiri dari Martinus Iyai (27), Naomi Pigome serta dua bocah berusia 9 dan 10 tahun yang juga ditembak di lokasi kejadian.
Di media sosial juga beredar foto dua warga sipil yang menjadi korban, masing-masing dari mereka terluka perut dan bahunya.
Para korban sulit diindentifikasi karena pasukan keamaanan berjaga. Kabarnya, lima orang pasukan keamanan dan tiga korban warga sipil dilarikan ke rumah sakit.