"Hal inilah yang secara historis sedari awal tidak sepadan, raja atau ratu adalah kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Sedangkan presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat. Mereka harus bisa dikritik oleh setiap warga," katanya.
Kemudian, Erasmus mengatakan pasal penghinaan presiden tidak relevan untuk negara demokratis.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan 013-022/PUU-IV/2006 secara tegas menyatakan Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945.
"Oleh karenanya MK menyatakan sudah tidak relevan jika dalam KUHP masih memuat pasal penghinaan presiden," tutur Erasmus.
Baca Juga: KPK Lobi Jokowi, RUU KUHP Urung Disahkan Pada HUT ke-73 RI
Erasmus menyebut Indonesia juga sudah meratifikasi Konvenan Hak Sipil dan Politik lewat UU No 12 Tahun 2005.
Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 disebutkan, pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi lewat instrumen hukum pidana.
”Karena itu, pembaharuan KUHP warisan kolonial juga seharusnya tidak lagi memuat pasal-pasal penghinaan presiden.”