ICJR Kritik RUU KUHP yang Tetap Atur Pasal Penghinaan Presiden

Kamis, 29 Agustus 2019 | 22:00 WIB
ICJR Kritik RUU KUHP yang Tetap Atur Pasal Penghinaan Presiden
(Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Institute for Criminal Justice Reform menilai, rumusan RUU KUHP masih memuat pasal-pasal yang bisa membawa Indonesia kembali pada kolonialisme atau bahkan lebih buruk lagi.

Salah satunya adalah, terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang pemidanaan atas tuduhan penghinaan presiden.

Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu menuturkan, pada draf RUU KUHP versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana penghinaan presiden, berganti menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 218-220 RKUHP.

"Pemerintah dan DPR terus bersikeras untuk mengatur tindak pidana ini, dengan berkali-kali menyatakan ‘kita saja mengkriminalisasi penghinaan kepala negara sahabat, maka presiden negara sendiri harus dilindungi’," ujar Erasmus dari keterangan yang diterima Suara.com, Kamis (29/8/2019).

Baca Juga: KPK Lobi Jokowi, RUU KUHP Urung Disahkan Pada HUT ke-73 RI

Kritiknya itu merupakan respons atas keputusan DPR meluluskan pasal tersebut dalam RUU KUHP. Nantinya, orang yang dianggap menghina presiden bisa dihukum 4,5 tahun penjara.

Erasmus menilai, pasal penghinaan terhadap presiden merupakan kemunduran dalam demokrasi di Indonesia. Kata dia, para perumus RUU KUHP tak memahami konsep reformasi hukum pidana.

"Hal ini jelas merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, dan perumus RKUHP belum sepenuhnya memahami konsep reformasi hukum pidana," ucap Erasmus.

Erasmus menyoroti beberapa hal terkait pasal penghinaan presiden. Pertama Pasal 134 dan 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden adalah warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda.

Dengan menggunakan asas konkordasi atau penggunaan hukum asal di negeri koloni, Belanda menggunakan pasal tersebut untuk memproteksi aparatus dan kebijakan kolonialisme.

Baca Juga: Polemik RUU KUHP, Presiden, DPR dan Menkumham Digugat

Setelah Indonesia merdeka, melalui UU No 1 Tahun 1946, pemerintah mengganti pasal penghinaan raja atau ratu Belanda dengan presiden atau wakil presiden.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI