Suara.com - Pengamat media sosial dari Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi, Hariqo mengamati sibuknya sebagian pengguna media sosial Twitter untuk berlomba-lomba meramaikan tagar #BubarkanBanser dan #BubarkanFPI. Dirinya mempertanyakan faedah dari kedua tagar tersebut pada masalah yang tengah terjadi di Papua.
Dua tagar itu mendapatkan perhatian lebih hingga Minggu, 25 Agustus 2019 malam. Tagar yang ramai digunakan ialah #BubarkanBanser, #BanserUntukNegeri dan #BubarkanFPI. Tagar tersebut ramai setelah kondisi Papua memanas.
"Apakah perdebatan mereka di ruang publik meredakan ketegangan di Papua? Atau malah menyinggung warga Papua?," kata Hariqo dalam pernyataan persnya, Senin (26/8/2019).
Hariqo menilai sebaiknya oknum dari kedua kelompok Islam tersebut bisa menanggalkan sementara soal persaingan di saat kondisi Papua yang tengah memanas. Hariqo kemudian menceritakan kronologi mengapa kedua tagar itu muncul setelah terjadi sejumlah kerusuhan di Papua. Saat itu, sejumlah pengguna media sosial mempertanyakan Banser yang tidak berangkat ke Papua untuk ikut mengamankan kerusuhan.
Baca Juga: Abu Janda: FPI yang Rasis, Kok Minta Banser Dibubarkan?
Kiai asal Sleman, Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah malah menjawabnya dengan serius hingga membuat sebuah video. Dalam video itu ia mengatakan bahwa banser bukan polisi, bukan tentara, Banser siap ke Papua kalau ada payung hukumnya, karena negara kita adalah negara hukum.
Video itu lantas direspon oleh Maheer At Thuwailibi yang bertanya soal payung hukum ketika Banser membubarkan pengajian. Dari situlah kemudian pengguna media sosial Twitter pun saling ejek.
“Sejak hari Senin (18/9/2019) hingga hari ini saya catat, selain Gus Miftah dan Maheer, beberapa akun juga memanas-manaskan situasi, menaikkan kelompoknya menjatuhkan yang lain, menyampaikan analisis yang menguntungkan separatisme, bergerak sesuai kepentingan masing-masing. Ada tagar #BubarkanBanser dan #BubarkanFPI," ujarnya.
Dari kacamatanya, kejadian saling maki tersebut bukan hanya terjadi kali pertama ini saja. Ketika ada yang meninggal ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua, bukannya ucapan bela sungkawa yang diucapkan, namun mempertanyakan posisi Banser. "Untuk Banser, saya seratus persen yakin, tidak semua anggota banser, tidak semua warga NU setuju dengan beberapa aksi Banser di lapangan. Jangan hanya benar, tapi juga harus pantas, begitu yang diajarkan salah seorang Ketua PB NU," ucapnya.
Dengan demikian, Hariqo berharap kalau masyarakat bisa lebih dewasa ketika terjadi sebuah peristiwa di tanah air. Melakukan pencarian fakta dan menebarkan kedamaian minimal melalui media sosial mungkin bisa menyumbangkan kondisi menjadi dingin. Hal itu disampaikan olehnya lantaran menurutnya belum tentu saat menyebarkan konten yang menguntungkan satu golongan, juga menguntungkan kepentingan nasional.
Baca Juga: Heboh Tagar Bubarkan Banser, Eks PA 212 Sindir Warganet
"Bukankah ada kaidah fiqih, alkhuruj minal khilaf mustahab (menghindari perbedaan pendapat lebih dicintai, setidaknya untuk sementara waktu, atau tidak dilakukan terbuka dulu, demi kepentingan NKRI yang lebih besar?" tanyanya.
Dirinya juga menambahkan bahwa saat ini ada krisis kepercayaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Hal itu bisa dihilangkan apabila masing-masing dari kelompok tersebut bisa saling bertabayyun dan lebih mengedepankan semangat persaudaraan.
"Sebab negara yang warganya sudah saling curiga mudah sekali diadu domba, dikuasai. Terasa enggak, sekarang kita saling mencurigai? Terasa enggak, kita sudah dikuasai?. Ke depan mari sama-sama kita berubah," tandasnya.