Veronica Koeman: Dosa Indonesia pada Papua adalah Rasisme

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 20 Agustus 2019 | 15:05 WIB
Veronica Koeman: Dosa Indonesia pada Papua adalah Rasisme
Veronica Koman.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perilaku rasis terhadap mahasiswa PapuadiKota Surabaya dan Malang, Jawa Timur, memantik protes massal serta mengukuhkan narasi kemerdekaan Papua.

Ribuan warga di Papua berdemonstrasi memrotes persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Senin (19/8/2019).

Aksi protes yang sempat diwarnai aksi pembakaran terhadap DPRD Papua Barat di Manokwari tersebut, secara cepat menjelma menjadi tuntutan kemerdekaan.

"Jadi kalau kemarin-kemarin cuma aksi peringatan, kali ini mereka benar-benar marah," kata Kuasa Hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Veronica Koman.

Baca Juga: Mama Papua: Anak Kami Memperjuangkan Kemerdekaan, Kenapa Dibilang Monyet?

"Polisi menonton ketika ormas-ormas melakukan serangan rasialis kepada mahasiswa Papua. Pembiaran oleh polisi ini mengakibatkan meledaknya konflik horizontal yang selama ini berupa api dalam sekam," tambahnya seperti diberitakan DW Indonesia.

Aksi protes antara lain dipicu oleh aksi pengepungan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya oleh sejumlah ormas beratribut FPI dan Pemuda Pancasia, ditambah aparat keamanan akhir pekan silam.

Para pelaku, termasuk anggota TNI, mengucapkan umpatan bernada rasialis, semisal "anjing! babi! monyet! keluar lu kalau berani! hadapi kami di depan!"

Pekan lalu polisi juga menangkap ratusan mahasiswa Papua dan kelompok solidaritas saat hendak melakukan aksi demonstrasi damai terkait New York Agreement di sejumlah kota seperti Ternate, Ambon, Malang, Surabaya, dan Jayapura.

Tindakan rasialis yang dialami mahasiswa di kota-kota tersebut dianggap menyulut amarah warga di Papua.

Baca Juga: Polisi Klaim Kantongi 5 Akun Penyebar Hoaks Pemicu Kerusuhan Papua

"Mereka sekarang menggunakan monyet sebagai simbol perlawanan. Sampai warga Yapen di pelosok juga turun aksi. Ini sudah menjadi tipping point dan sudah tidak ada lagi alasan bagi Jakarta untuk tidak bertindak," kata Koman saat dihubungi Deutsche Welle.

Namun, bukannya menggali akar rasisme di dinas kepolisian, Polri malah berniat membatasi akses informasi dengan menggeruduk sejumlah akun medsos yang dinilai menyebarkan "hoaks" terkait insiden di Surabaya. Selama ini aparat keamanan merupakan satu-satunya sumber informasi di Papua.

Polda Jawa Timur sendiri membantah ada anggotanya yang bersikap rasis terhadap mahasiswa Papua. Namun, tindak rasisme bukan pula kali pertama dituduhkan pada aparat keamanan.

Awal tahun ini seorang polisi kedapatan menganiaya seorang tersangka di Papua, antara lain dengan menggunakan ular.

"Dosa Indonesia ke Papua itu adalah rasisme. Dan ini sudah diidentifikasi sebagai salah satu akar konflik. Jadi sudah saatnya Jakarta dan Papua duduk bersama secara sejajar", kata Koman lagi.

Menurutnya, Indonesia tidak lagi memiliki banyak pilihan terkait nasib Papua. Insiden rasialis di Surabaya dan Malang dianggap melukai martabat bangsa Papua dan sebabnya memperkuat narasi separatisme yang kini ikut disuarakan dalam aksi demonstrasi.

"Tuntutan mereka kemerdekaan. Tidak ada yang lain. Benar. Hanya merdeka. 'Karena kami monyet maka biarkan kami tentukan nasib sendiri' begitu yang saya lihat dari hasil pantauan saya," katanya.

Dia mengkhawatirkan, amarah warga bisa menjelma menjadi konflik horizontal yang lebih besar lagi.

"Di Manokwari sudah ada yel-yel 'usir-usir pendatang sekarang juga,' jadi seperti dendam begitu."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI