Cerita Pilu Korban Perdagangan Orang: Kerja 11 Tahun, Terima Rp 7 Juta

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 20 Agustus 2019 | 13:47 WIB
Cerita Pilu Korban Perdagangan Orang: Kerja 11 Tahun, Terima Rp 7 Juta
Ilustrasi penggeladahan di sebuah bangunan rumah yang diduga tempat penampungan sementara Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal di kawasan Percetakan Negara, Jakarta, Rabu (31/5).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Andy Ardian, Sekretaris JarNas Anti TPPO mengatakan, situasi ini merupakan hasil dari pembiaran yang dilakukan negara. Tidak ada perlindungan cukup bagi warga negara yang bekerja di luar negeri sehingga dimanfaatkan sindikat perdagangan manusia.

“Kemiskinan menyebabkan masyarakat NTT rentan menjadi korban perdagangan orang,” kata Andy.

Sementara itu, Gabriel Goa, Ketua Bidang Advokasi JarNas Anti TPPO menilai, upaya perlindungan itu belum maksimal karena aparat penegak hukum belum menerapkan UU No.21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pada sisi yang lain, berdasar pantauan dan pengalaman pendampingan, masih ada oknum penegak hukum terlibat dalam kasus perdagangan orang.

“Diperlukan kehadiran lembaga negara untuk memberikan akses yang lebih mudah bagi korban perdagangan orang menerima perlindungan dan dipenuhi haknya sebagai korban. Lembaga-lembaga negara perlu bekerjasama dengan pegiat anti perdagangan manusia, lembaga regional dan internasional untuk menyelamatkan PMI yang menjadi korban perdagangan manusia ,” tambah Gabriel.

Baca Juga: Seram, Industri Pariwisata Jadi Sasaran Utama Perdagangan Orang

Servulus Bobo Riti, dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menjamin, dalam konteks pekerja migran, pemerintah Indonesia sangat serius menangani perdagangan orang. Servulus adalah Direktur Sosialisasi dan Kelembagaan Penempatan di BNP2TKI.

Dikatakannya, melalui UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, pemerintah melakukan dua hal pokok, yaitu distribusi tugas dan tanggung jawab penyiapan dan pelindungan pekerja migran oleh pemerintah daerah dan kehadiran negara dalam perlindungan hukum, ekonomi dan sosial, baik sebelum, selama dan sesudah penempatan pekerja migran. "UU 21 Tahun 2007 dan UU 18 Tahun 2017 saling melengkapi," kata Servulus.

Selain NTT, ada dua provinsi lain yang memiliki kasus hampir mirip, yaitu NTB dan Sulawesi Selatan. Di NTT, jalur non prosedural atau ilegal sudah dibangun sejak tahun 60-an. Tidak mengherankan, meskipun korban terus berjatuhan, jalur ini tetap menjadi pilihan sebagian calon PMI.

Apakah jalur ilegal ini tidak dapat ditutup oleh pemerintah? Servulus memastikan, seluruh pihak baik BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri dan pemerintah daerah bekerja sama menekan potensi penggunaan jalur non prosedural. Syaratnya adalah perhatian yang lebih pada calon PMI terutama untuk pelatihan dan pembiayaan keberangkatan PMI.

Di sisi yang lain, dugaan keterlibatan aparat hukum dalam kasus-kasus TPPO juga terus ditekan. Jika masih ada, kata Servulus, tidak mencerminkan kebijakan pemerintah.

Baca Juga: Bongkar Sindikat Perdagangan Orang, Polisi: Jaringan Maroko Jual 500 WNI

“Dari berbagai bacaan atau sumber, memang ada yang mengatakan adanya keterlibatan. Tetapi belakangan, kurang lebih 2-3 tahun terakhir, menurut kami sudah makin berkurang. Itu juga dampak positif dari dilakukannya sosialisasi yang sudah sampai menyentuh level akar rumput, di NTT hampir di seluruh wilayah baik oleh Pemda, maupun BNP2TKI bersama BP3TKI Kupanguntuk memasyarakatkan pilihan-pilihan jalur prosedural atau jalur migrasi aman,” kata Servulus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI