Suara.com - Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menilai pidato kenegaraan Presiden Jokowi yang mempersoalkan ukuran pemberantasan korupsi, sama dengan mengkritik kinerja KPK saat ini yang lebih menitikberatkan pada penindakan.
"Jadi, ada paradigma baru penegakan hukum di Indonesia yang diinginkan oleh Presiden agar tidak terjebak pada rutinitas penindakan," kata Masinton seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Sabtu (17/8/2019).
Dalam pidato kenegaraan di Sidang Bersama DPR dan DPD, Presiden Jokowi menyampaikan pemberantasan korupsi jangan hanya diukur dari jumlah kasus dan jumlah orang dipenjarakan, tetapi diukur dari berapa potensi korupsi yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.
Masinton meyakini Presiden Jokowi sedang mengkritik KPK saat ini karena kepala pemerintahan berbicara soal pencegahan korupsi.
Baca Juga: PDIP Tak Mau Rebut Kursi Pimpinan MPR, Serahkan ke Musyawarah Mufakat
"Dalam institusi penegakan hukum kita, khususnya dalam pemberantasan korupsi, satu-satunya institusi yang diberi kewenangan pencegahan adalah KPK. Polisi dan Kejaksaan tidak ada kewenangan penegahan," kata Masinton.
Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan, arah pidato Presiden jelas ingin merevitalisasi agenda pemberantasan korupsi oleh KPK. Menurutnya, revitaliasi ini harus didukung dengan revisi UU KPK.
"KPK diberi kewenangan khusus untuk pencegahan dan itu tidak pernah optimal dilakukan. Maka KPK terjebak pada rutinitasnya menangkap orang, padahal pengembalian uang negara dan uang pengganti minim," ujarnya.
Dengan model pemberantasan korupsi yang seperti itu, kata Masinton, negara sebenarnya rugi.
"Selama 15 tahun KPK berdiri, kita rata-ratakan anggaran KPK Rp1 triliun per tahun, berarti Rp15 triliun. Sementara kita tahu pengembalian kerugian negara itu di bawah Rp5 triliun. Negara tekor," kata Masinton.
Baca Juga: Daftar Menteri dari PDIP di Kabinet Jokowi Distor Megawati Sendiri
Menurut Laporan Capaian dan Kinerja KPK 2018, sepanjang tahun lalu lembaga superbody ini telah melakukan OTT sebanyak 28 kali atau terbanyak dalam sejarah pendiriannya.