Suara.com - Kuasa hukum mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen, Tonin Tachta memastikan Kivlan Zen tidak pernah menerima uang dari Prabowo Subianto untuk membiayai kebutuhan hidup dan keluarganya selama dirinya mendekam di Rutan Guntur.
Tonin mengungkapkan Kivlan Zen sejak tahun 2014 silam pun memang tidak pernah menjalin komunikasi dengan Prabowo.
Menurut Tonin tidak ada kedekatan antara Kivlan Zen dan Prabowo itu lah yang menjadi alasan mengapa kliennya cenderung tidak diurusi seperti halnya orang-orang dekat Prabowo yang terseret kasus makar, yakni Eggi Sudjana dan mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Soenarko.
"Makanya dia enggak diurus, urus sendiri kalau yang lain kan di urus misalnya Eggi Pak Soenarko," kata Tonin di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cakung, Kamis (15/8/2019).
Baca Juga: Pertemuan Prabowo - Suharso Ternyata Hasil Kesepakatan di Kongres PDIP
Tonin pun memastikan bahwasanya selama Kivlan Zen mendekam di Rutan Guntur tak ada aliran dana dari Prabowo yang diberikan kepada kliennya untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Kekinian, kata Tonin, Kivlan mengandalkan uang sisa-sisa pensiunannya.
"Enggak ada sama sekali (dari Prabowo) enggak ada. Enggak bohong ini, memang enggak ada," ungkapnya.
Selain, dari uang pensiun yang diterima Kivlan Zen setiap bulannya. Tonin mengungkapkan untuk membiayai kebutuhan hidup dan keluarganya Kivlan juga kerap diberi bantuan dari rekan-rekan angkatannya di TNI.
"Abis itu ada bantuan dari teman teman tentara TNI, mantan-mantan Pangkostrad masih berikan juga, mantan mantan 71 masih ada yang berikan. Apalagi sekarang posisi di dalam penjara kan, misalanya ada yang datang kasih 5 juta, 10 juta masih ada," tuturnya.
Untuk diketahui, Kivlan Zen menggugat mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Wiranto Rp 1 triliun terkait pembentukan Pam Swakarsa 1998.
Baca Juga: Sore Ini, Prabowo Bertemu Petinggi PPP, Partai Koalisi Jokowi
Tonin mengatakan gugatan perdata yang dilayangkan oleh kliennya dari balik jeruji besi ke PN Jakarta Timur pada 5 Agustus 2015 dipicu oleh pernyataan Wiranto yang menolak permintaan kliennya atas pengalihan status penahanan.