Suara.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PHSK) menolak wacana kembali menghidupkan Garis Beras Haluan Negara (GBHN) pada amandemen UUD 1945. Penolakan itu disampaikan lantaran melihat adanya potensi kemunduran kalau GBHN kembali dijalankan.
Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK memandang kritis atas wacana yang dibunyikan oleh elite politik. Salah satu sebab mengapa pihaknya menolak ialah karena wacana itu bisa merusakan sistem presidensial yang sudah dijalankan di Indonesia pada periode 1945-1949 dan kembali dijalankan pada masa orde lama hingga saat ini.
PSHK memandang, gagasan amendemen UUD 1945 yang bertujuan menghidupkan kembali GBHN harus ditolak karena 5 alasan sebagai berikut.
Dalam naskah sebelum perubahan UUD 1945, GBHN diatur dalam Pasal 3 yakni berisikan bahwa MPR menetapkan UUD dan GBHN. Dalam pasal yang sama juga tertulis bahwa presiden wajib melaksanakan GBHN dan apabila presiden melanggar, maka MPR bisa memberhentikan presiden.
Baca Juga: PSHK Anggap Wacana Hidupkan GBHN Bukan Dari Kepentingan Masyarakat
"Pengaturan itu pada dasarnya membuat Indonesia menganut sistem parlementer," kata Fajri dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/8/2019).
Seiring berjalannya waktu, pasal itu dihapuskan dalam amandemen ketiga UUD 1945. Penghapusan pasal itu melahirkan kewenangan MPR yang sifatnya terbatas. MPR hanya berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945, melantik presiden/wakil presiden terpilih serta memberhentikan presiden/wakil presiden dalam masa jabatannya sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Dengan begitu, lahirlah sebuah sistem presidensial yang masih dijalankan hingga saat ini. Di mana MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan presiden tidak memiliki beban mandataris dari MPR.
Menurutnya, sistem presidensial itu justru melahirkan sebuah demokrasi di Indonesia, karena presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat bukan untuk MPR. Dengan demikian, PHSK menganggap kalau wacana penghidupan GBHN dalam amandemen UUD 1945 hanya akan menimbulkan kemunduran atas pencapaian yang sudah dilakukan di Indonesia.
"Jika GBHN kembali dihidupkan, pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem yang sudah dibangun selama ini," tandasnya.
Baca Juga: Wacana Menghidupkan GBHN Dianggap Melawan Komitmen Pembangunan Sekarang